Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 19:44 WIB | Selasa, 30 April 2013

May Day: Berabad-abad Membahas Relasi Pekerja-Pemodal

Hari ini, para pekerja di berbagai negara memperingati Hari Buruh Sedunia, termasuk para pekerja di Indonesia. Dijadikannya tanggal 1 Mei sebagai hari penting bagi pekerja berangkat dari berbagai aksi para buruh hingga peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat lebih dari dua seperempat abad lalu.

Pada tanggal  1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi delapan jam sehari. Aksi ini berlangsung selama empat hari.

Pada tanggal 4 Mei, demonstran melakukan pawai besar-besaran, polisi kemudian menembaki mereka sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati. Para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa tersebut, di berbagai negara terjadi pemogokan buruh yang menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal. Di Indonesia, hari yang dikenal sebagai May Day itu telah diperingati sejak tahun 1920.

Setelah lebih dari dua abad dari peristiwa berdarah tersebut, hubungan antara pemilik modal dan pekerja selalu menghadapi berbagai masalah, bahkan banyak Negara yang gagal untuk mengelola hubungan ini. Masalah ini bahkan memicu revolusi dan selalu menuntut bayaran yang mahal bagi generasi itu.

Baru-baru ini, misalnya, ratusan buruh pabrik garmen di Bangladesh tewas karena bangunan pabrik yang runtuh. Ini tragedi dunia buruh, karena mereka dipaksa bekerja, padahal tanda-tanda keruntuhan bangunan sudah nyata. Dan mereka dikorbankan oleh pemilik modal yang mengejar profit dan mengabaikan nilai manusia.

Ironisnya, pemilik bangunan ini hendak kabur dari tanggung jawab dan membiarkan ribuan pekerja terluka, dan entah berapa masih tertimbun. Ini adalah wajah terburuk perburuhan dekade ini yang ditandai oleh lemahnya negara dalam mengelola relasi yang sehat antara pekerja dan pemilik modal. Bangladesh telah dikritik secara tajam sebagai negara yanga gagal melindungi buruh.

Buruh di Indonesia

Bagaimana wajah perburuhan di Indonesia? Buruh di Indonesia ternyata masih menghadapi nasib terburuk di  antara negara-negara tetangga dalam ASEAN. Upah buruh minimum bulanan di Indonesia sebesar US$ 161,3 adalah yang terendah. Sedangkan negara tetangga Thailand sudah mencapai US$ 283,5 (KSPI 2013).  Negara tetangga lainnya memberi upah minimum lebih besar lagi.

Belum lagi menyangkut jaminan sosial, di mana diperkirakan ada 100 juta jiwa orang Indonesia yang tidak terlindungi oleh jaminan sosial. Dan juga kita masih mencatat sekitar 7,244 usia kerja yang masih menganggur.

Namun di sisi lain kita menyaksikan ada pejabat-pejabat yang hidup dengan kekayaan luar biasa, seperti yang dipertontonkan petinggi Polisi, Djoko Susilo yang sekarang menghadapi tuntutan di pengadilan atas kasus korupsi. Korupsi juga menjadi pemandangan rutin di semua level kehidupan, juga di tengah-tengah cerita pengusaha yang masuk kelompok orang terkaya di dunia. Di sisi lain, kaum pekerja berada pada posisi berjuang untuk bertahan hidup. Ini mencerminkan relasi yang tidak sehat.

Relasi Mitra Bisnis

Relasi pemilik modal dan pekerja sebenarnya nyaris tidak bisa dihindarkan. Keduanya saling membutuhkan dan seharusnya merupakan relasi mitra bisnis, bukan relasi eksploitasi. Jadi, mengapa sekarang ini suasananya menjadi saling berhadapan? Hal ini terjadi karena ada pihak di antara mereka yang ”menangkap ikan di air keruh.”  Ini yang harus dibicarakan oleh para pekerja dan pemilik modal.

Maka, 1 Mei sudah semestinya menjadi momentum penting keduanya menghadapi musuh bersama. Mereka adalah koruptor yang membuat usaha tidak bisa membayar upah dengan layak. Mereka adalah penelikung hukum yang membuat negara gagal menjaga supremasi hukum yang melindungi pekerja.

Sayangnya, tema ini sudah berabad-abad dibahas dan di beberapa negara belum juga selesai, termasuk di Indonesia sekarang ini. Hal ini terjadi karena kehidupan manusia dan relasi antar manusia dikalahkan oleh relasi yang nilainya diukur oleh profit semata, bahkan meniadakan ikatan kebangsaan. Jika ini yang terjadi, maka kita akan terus memperingati 1 Mei dengan kepiluan, kepiluan yang tak beda dengan dua abad lalu.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home