Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 13:01 WIB | Selasa, 18 Agustus 2015

Megawati Protes Jokowi Pidato 3 Kali di Sidang Tahunan MPR

Presiden Republik Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kebangsaan dalam Rangka Memperingati Hari Konstitusi dengan tema 'Mengkaji Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Apakah Sudah Baik', di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/8). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Republik Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, mengaku bingung melihat Joko Widodo tiga kali berpidato dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Jumat (14/8).

Menurut dia, seharusnya sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia di hadapan rakyat.

“Kenapa Presiden harus pidato tiga kali kemarin itu ya? Seharusnya delivery pidato Presiden itu kepada rakyat,” ucap Megawati dalam Seminar Nasional Kebangsaan dalam Rangka Memperingati Hari Konstitusi dengan tema 'Mengkaji Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Apakah Sudah Baik', di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/8).

Dia pun memprotes melihat kejadian tersebut. Menurut Megawati, aneh seorang Presiden harus pidato tiga kali dalam sehari di tempat yang sama. “Kalau kemarin Presiden itu jadi apa ya, saya protes sebagai warga bangsa, aneh Presiden harus pidato tiga kali, aneh sekali,” ucap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sentil MPR

Megawati juga menyentil Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) soal berantaknya perundang-undangan di Indonesia. Salah satunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkiblat kepada perundang-undangan milik Belanda.

"Saya ingin goda sedikit ketua fraksi MPR. Perundangan ini sudah amburadul. Sebelum merdeka memakai UU Belanda, sekarang banyak yang termaktub di KUHP," kata dia.

Menurut Presiden Republik Indonesia kelima itu, hal tersebut merupakan masalah. Karena Belanda sendiri sudah melakukan reformasi ketatanegaraan dan hukum, bahkan beberapa aturan yang masih dipakai Indonesia sudah tidak lagi dipakai di Belanda.

"Banyak perundangan di Indonesia tidak digunakan lagi di belanda. Mengapa tidak lakukan kajian?," kata dia.

Mega juga mengkritik MPR RI yang tidak kembali menginisiasi pembuatan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketiadaan GBHN yang seharusnya menjadi panduan, membuat program pemerintahan tidak berkelanjutan bila rezim berganti.

"Sekarang cuma ada visi. Visi itu apa? Kalau berganti, ya sudah. Selesai (pembangunan)," kritik Mega.

"Dengan tata pemerintahan negara yang seperti itu, maka MPR hadir sebagai tempat dari kedaulatan rakyat. Atas kedudukan ini, MPR merupakan Lembaga Negara Tertinggi dengan kewenangan salah satunya adalah menyusun Garis Besar Haluan negara (GBHN)," tutur putri proklamator kemerdekaan Republik Indonesia itu.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home