Loading...
OPINI
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 00:00 WIB | Senin, 12 Januari 2015

Melarang “Senyap”

SATUHARAPAN.COM – Pimpinan sejumlah perguruan tinggi di beberapa wilayah negara ini melarang pemutaran film dokumenter, The Look of Silence atau Senyap. Di Yogyakarta, pihak yang melarang adalah sekelompok orang yang diduga dari sebuah organisasi masyarakat (ormas). Padahal, pemutaran Senyap secara serentak di Indonesia adalah rangkaian memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember 2014.

Alasan pihak yang melarang, dikhawatirkan film tersebut mengandung unsur komunisme. Hal ini tentu terkait dengan momok warisan orde baru yang masih dilanjutkan hingga hari ini, yaitu apa yang diistilahkan ‘bahaya laten komunisme.’ Berikut, seperti kasus di Yogyakarta, dengan adanya kelompok yang keberatan dengan pemutaran film tersebut, aparat lalu buat alasan, larangan itu untuk menjaga agar konflik tidak terjadi.

Ada apa dengan negara ini sehingga harus melarang Senyap, sebuah film yang sebenarnya justru dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk mengetahui dan belajar mengenai masa lalu dalam usaha semua pihak memahami makna kemanusiaan dan hak-hak hidupnya? Apa yang perlu dilakukan dalam usaha memahami secara cerdas hasil rekonstruksi masa lalu, yang antara lain berbentuk film dokumenter itu?

 

“Senyap” dan Negara yang Menawan Kebenaran Sejarah

Senyap adalah film dokumenter karya Joshua Oppenheimer. Tahun 2012 ia juga meluncurkan film bertema sama, The Act of Killing atau Jagal yang juga memunculkan kontroversi dan penolakan oleh pihak-pihak tertentu di Indonesia. Baik Senyap maupun Jagal keduanya berusaha menampilkan kisah yang selama ini tidak diketahui banyak oleh publik Indonesia mengenai apa yang terjadi di tahun 1965 dan dampak-dampak turunannya secara langsung.

Senyap mengambil latar belakang pembataian massal tahun 1965 oleh masyarakat terhadap mereka-mereka yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Utara. Di belakang masyarakat itu adalah militer. Dalam filmnya ini, Joshua mengambil sudut pandang penyintas, yaitu keluarga yang dituduh anggota PKI.

Selain Senyap dan Jagal, sebelumnya ada pula Balibo (2009) yang mengalami hal serupa. Film karya sutradara Robert Connolly ini berkisah tentang sekelompok wartawan Australia yang tewas saat meliput di Balibo, Timor Leste pada tahun 1975 atau dalam konteks pemerintah Indonesia berusaha mencaplok wilayah itu. Balibo mengungkap kasus pelanggaran HAM terhadap wartawan, yang oleh film ini menyebutkan, pelakunya adalah para tentara Indonesia. Film ini, bahkan secara resmi dilarang oleh Badan Sensor Film Indonesia dan pemerintah. Alasannya, film tersebut tidak sesuai fakta, bahwa para wartawan itu tidak dibunuh oleh tentara Indonesia melainkan tewas dalam kondisi perang.

Senyap tentu bukan kebenaran sejarah itu sendiri. Ia hanya sebuah karya film, yang sebenarnya dapat membantu generasi masa kini dan akan datang untuk mengenal lebih banyak mengenai sejarah masa lalu.

 

Generasi kini adalah generasi digital, generasi internet, generasi yang dapat mengakses informasi dan pengetahuan dari mana saja dengan cara yang mudah. Dalam konteks seperti ini, pelarangan pemutaran film hanya karena kekhawatiran yang tidak mendasar adalah sebuah kesia-siaan.

 

Kenapa negara ini (baca: militer dan pemerintah) sangat khawatir dengan Senyap, Jagal atau sebelumnya Balibo? Apakah ini sama dengan ketakutan mengungkap fakta-fakta pelanggaran HAM oleh negara di masa lalu? Ataukah generasi masa kini dan mendatang tidak perlu tahu bagaimana dinamika sejarah negara ini? 

 

Pentingnya Dialog Sejarah

Film Senyap atau film lainnya yang senada, yang seolah-olah mau mengorek luka masa lalu bukanlah kebenaran sejarah itu sendiri. Sebagai film dokumenter, ia adalah sebuah karya jurnalistik. Bagaimanapun ia tidak akan pernah dapat menghadirkan realitas sebagaimana dia ada di masa ia terjadi. Namun, dengan merekonstruksi kepingan-kepingan fakta, menghadirkan kembali dalam gambar bergerak dan suara, Senyap sebenarnya mau mengundang kita untuk meninjau kembali sejarah itu dengan kesadaran kritis yang dialogis.

Dengan demikian, kritik selalu terbuka. Kritik secara teknis maupun substansi film adalah sesuatu yang harus dilakukan. Karena itu, Senyap perlu ditonton dan didiskusikan, jangan justru dilarang! Justru dengan malarang Senyap ditonton dan disdiskusikan oleh publik Indonesia, maka kritik itu justru menjadi senyap.

Artinya, kalau memang substansi film Senyap dan film-film sejenisnya yang berkisah mengenai negara dan kekerasan di masa lalu, oleh pihak-pihak tertuduh atau yang keberatan menganggapnya tidak tidak akurat, tidak benar sesuai fakta, maka kritikan dan bahkan bantahan adalah elok jika dilakukan secara cerdas. Hadirkan versi alternatif, juga dalam bentuk wacana: melalui film juga atau tulisan. Dengan demikian yang terjadi bukan ‘pelarangan’ dengan cara represif yaitu membatasi hak orang menonton atau mengetahui informasi, melainkan diskursus atau dialog cerdas yang kritis.

Senyap dan film-film sejenisnya sebenarnya mengundang kita untuk masuk pada dialog sejarah. Generasi Indonesia hari ini bukanlah generasi tahun 1980-an atau 1990-an yang hanya mengenal RRI dan TVRI. Generasi kini adalah generasi digital, generasi internet, generasi yang dapat mengakses informasi dan pengetahuan dari mana saja dengan cara yang mudah. Dalam konteks seperti ini, pelarangan pemutaran film hanya karena kekhawatiran yang tidak mendasar adalah sebuah kesia-siaan. Generasi digital punya banyak cara untuk mengakses apa yang dia mau. Jadi, alangkah eloknya jika negara ini mendidik generasinya menjadi generasi cerdas: kritis, inovatif, kreatif, toleran dan cinta damai.

Menonton dan mendiskusikan rekonstruksi kepingan-kepingan fakta dari masa silam adalah bagian dari cara cerdas mengetahui dan memaknai diri dalam lintasan waktu. Itulah dialog sejarah. Sebuah dialog cerdas yang terjadi antara generasi hari ini dengan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya. Sehingga, melarang Senyap sama dengan menawan kebenaran sejarah dalam ambisi untuk menjadikan Indonesia ‘tunggal’ dan hegemonik.

 

Penulis aalah pegiat di Mawale Cultural Center, tinggal di Tomohon-Minahasa


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home