Loading...
INSPIRASI
Penulis: Woro Wahyuningtyas 01:00 WIB | Selasa, 07 April 2015

Melawan Virus Buta Warna dan Buta Aksara

Apakah para pengguna jalan ini buta warna?
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Jakarta adalah salah satu kota termacet di dunia. SurveI ini dilakukan oleh Castrol Magnatec, perusahaan oli asal Inggris. Konsekuensi dari kemacetan ini adalah orang cenderung menjadi semakin tidak sabar. Selalu ingin cepat sampai di tempat tujuan. Banyak sekali kekhawatiran di dalamnya, takut terjebak macet berikutnya, sampai takut kehilangan peluang bisnis dan juga momen berharga dalam hidupnya.

Sementara itu, pilihan untuk menggunakan moda transportasi umum masih kecil. Kondisi kenyamanan dan keamanan moda transportasi umum menjadi alasan untuk tidak menggunakannya. Sebagian orang memilih menggunakan sepeda sebagai moda transportasi alternatif. Walaupun banyak orang mengira pengguna sepeda di Jakarta adalah orang gila, nekad. Tetapi, untuk mengindari kemacetan serta mengejar waktu, itulah moda transporasi efektif saat ini.

Di banyak lampu merah di Jakarta, terutama bukan di jalan protokol, jamak kita jumpai segala jenis kendaraan saling berebut. Lampu pengatur lalu lintas seperti tidak ada artinya. Semrawut dan cenderung saling berebut di antara pengguna jalan. Padahal, lampu pengatur lalu lintas masih berwarna merah. Apakah para pengguna jalan ini buta warna?

Mungkin tidak buta warna benar, tetapi membutakan diri saat di jalanan. Dan, kita bisa amati, buta warna ini menular. Saat ada kendaraan tetap melaju dalam kondisi lampu merah, pasti akan diikuti pengguna jalan lainnya. Biasanya banyak yang mengikuti di belakangnya, jika ada yang tetap diam tidak bergerak dan kebetulan ada di posisi depan, yang diterima adalah bunyi klakson bertubi-tubi atau bahkan makian. Setidaknya, itu yang saya alami saat mengendarai sepeda. Saya sadar, sebagai pengguna jalan terlemah, ketertiban berlalu lintas akan memberikan rasa aman dalam diri saya.

Rupanya, selain buta warna, buta aksara juga melanda banyak penduduk di Jakarta. Dalam sebuah perjalanan dengan TransJakarta, kursi prioritas yang bertuliskan digunakan untuk kelompok rentan (perempuan hamil, perempuan membawa anak-anak dan lansia) sudah penuh diduduki kaum muda. Seorang perempuan yang sudah terlihat renta pun berdiri di depan meraka. Tak ada rasa rikuh kepada perempuan renta ini, sampai akhirnya petugas memanggil kedua perempuan muda itu untuk berdiri dan mempersilakan perempuan renta ini duduk. Salah satu dari perempuan muda itu berdiri dengan muka yang terlihat kesal. Dia tidak terlihat sebagai orang yang buta aksara karena saat duduk ia sibuk dengan telepon pintarnya. Jarinya dengan cepat menyentuh layar seperti sedang mengetik. Tetapi, apakah ia tidak bisa membaca tulisan di atas bangku berwarna merah itu?

Menjaga diri untuk tidak buta warna dan buta aksara di kondisi Jakarta ini memang terlihat ”aneh”. Lirikan, bunyi klakson, umpatan juga pujian sering kita dapatkan. Tetapi, jika tidak mulai dari diri sendiri, mau berharap kepada siapa? Jika virus buta warna dan buta aksara saja menular, virus untuk menjaga diri tetap bisa jelas melihat warna dan membaca pun bukan hal mustahil bisa kita tularkan.

Berhenti mengeluh! Mari berbuat sesuatu.

 

Editor: ymindrasmoo

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home