Loading...
ANALISIS
Penulis: Saidiman Ahmad 00:00 WIB | Senin, 20 Juni 2016

Melihat Ahok Bekerja

Reformasi birokrasi menjadi sasaran penting perombakan yang dilakukan sejak Jokowi dan kini Ahok. Hasilnya dapat menginspirasi daerah-daerah lain, sehingga masa depan Indonesia akan lebih baik.

Jakarta, Satuharapan.com - Kaleng, pembungkus makanan, botol dan sampah plastik lainnya berdesak-sumpek, terperangkap di sebuah selokan yang sempit. Seorang warga mengambil telepon selulernya. Dia memotret pemandangan itu. Dia kirim gambar itu ke pemerintah provinsi DKI Jakarta disertai alamat tepat sampah yang menutup selokan. Dalam waktu singkat, sampah yang menutupi selokan itu hilang.

Pada kasus lain, seorang warga mengambil gambar penutup selokan yang ambruk di jalan Salihara, Jakarta Selatan. Gambar itu kemudian dikirim melalui twitter ke Jasa Marga DKI dan akun Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam tempo 5 hari, kerusakan selokan itu teratasi. Begitu cepat.

Cerita semacam ini banyak sekali terjadi sejak pemerintahan DKI Jakarta dipimpin oleh Ahok, juga pada masa Joko Widodo. Sebelumnya, kerusakan fasilitas publik, sampah yang menumpuk di pinggir jalan, got yang tersumbat, aktivitas dagang di badan jalan, dan seterusnya sangat mungkin tidak bisa ditangani dengan cepat, bahkan dibiarkan semakin parah. Apa yang terjadi di DKI sehingga persoalan-persoalan publik yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari bisa mendapat tempat yang istimewa dalam kerja-kerja pemerintah kota? Jawabannya adalah semakin efektifnya kerja aparatur pemerintahan provinsi yang didukung oleh semakin meluasnya partisipasi publik.

Ada sejumlah masalah mendasar kenapa selama ini aparat negara tidak bekerja maksimal. Salah satu penyebabnya, menurut Mark Turner (2013) adalah adanya budaya patronase yang sangat tinggi. Ini pula yang menyebabkan sulitnya melakukan gerakan perubahan di tubuh birokrasi. Sementara, lanjut Turner, 50% penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi pada masyarakat negara berkembang adalah karena mandegnya kinerja birokrasi. Itu sebabnya, pemimpin reformis seperti Ahok dan Jokowi memulai gerakan pembaruannya dengan mendobrak tradisi birokrasi.

 

Open Recruitment

Reformasi birokrasi DKI Jakarta dimulai sejak hari pertama rezim Jokowi, kemudian Ahok, menjadi pemimpin di Ibu Kota. Tahun 2013, mereka memperkenalkan metode rekrutmen terbuka atau lelang jabatan pada posisi-posisi strategis pemerintahan DKI. Pada tahap pertama lelang jabatan, 45 ribu pegawai negeri sipil di DKI Jakarta ikut dalam proses lelang jabatan. Mereka berlomba menunjukkan rekam jejak dan kompetensi untuk memperebutkan 311 posisi lurah dan 44 camat.

Wajah birokrasi DKI Jakarta langsung berubah. 70% lurah dan camat di Ibukota kala itu diganti dengan wajah-wajah baru. Selebihnya, pada tahap awal lelang jabatan, Gubernur DKI mengaku telah mengidentifikasi 700an aparat berkualitas yang sewaktu-waktu bisa ditempatkan pada posisi-posisi penting dan strategis pemerintahan ibu kota.

Secara umum, lelang jabatan ini menyesar tiga perubahan. Pertama, menggeser paradigm hirarkis dalam birokrasi dengan mengadopsi sistem management publik yang biasa dipakai oleh sector privat. Kedua, mengintrodusir sistem manajerial yang berorientasi hasil. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dalam mekanisme kontrol multi-aktor.

Dalam sistem demokrasi, publik memiliki hak untuk mengontrol pejabat yang dipilihnya. Para pejabat terpilih itulah yang merumuskan aspirasi publik dalam bentuk program dan kebijakan. Sedapat mungkin semua kebijakan bisa berdiri dalam satu garis yang lurus dengan aspirasi warga. Masalahnya, perumusan dan pengambilan kebijakan hanyalah satu tahap dalam proses kebijakan. Ada tahap implementasi yang juga sangat krusial. Di tahap ini, peran birokrasi menjadi sangat penting. Nah pada tahap implementasi, publik secara umum memiliki akses yang sangat terbatas untuk melakukan kontrol.

Open recruitment  membuka peluang bagi warga untuk juga terlibat dalam proses kontrol sampai pada level kinerja birokrasi. Melalui sistem terbuka, warga memiliki kesempatan untuk ikut dalam perbincangan melalui media, forum warga, dan seterusnya untuk memberi reward and punishment pada pejabat atau aparat birokrasi yang bekerja mengimplementasikan kebijakan. Dengan kata lain, open recruitment yang telah dimulai ini membuka ruang lebih lapang bagi partisipasi warga dalam seluruh proses kebijakan.

Lelang jabatan adalah mekanisme yang paling efektif untuk mengganti individu-individu yang berada di posisi strategis tapi terbukti tidak memiliki kecakapan memberi pelayanan publik. Metode ini secara nyata mendorong para pejabat dan pegawai negeri sipil untuk memperbaiki kinerja. Ada iklim kompetisi yang semakin terbangun. Walaupun tidak semua pegawai negeri di lingkungan DKI bisa mengisi posisi-posisi penting yang ditawarkan dalam lelang jabatan, setidaknya pemerintah provinsi sudah memiliki peta bahkan daftar nama pegawai yang memiliki kompetensi.

 

Key Performance Indicators

Reformasi birokrasi kedua dimulai ketika gubernur memperkenalkan key performance indicators (KPI) di mana kinerja pegawai negeri diukur berdasarkan prestasi riil yang mereka lakukan. Sistem penilaian ini akan menjadi dasar bagi penentuan besaran tunjangan kinerja daerah (TKD) PNS di lingkungan pemerintahan provinsi DKI Jakarta.

Sasaran utama dari sistem ini adalah peningkatan objektivitas evaluasi atas kinerja aparat negara. Dengan sistem ini, pejabat publik bisa dimutasi atau bahkan diberhentikan secara lebih fair berdasarkan evaluasi kinerja yang riil. Melalui sistem ini, budaya patronase diharapkan bisa terkikis. Di satu sisi, pemerintah DKI menaikkan tunjangan pegawai negeri, tapi pada saat yang sama mengancam mereka yang tidak bekerja maksimal untuk dimutasi atau bahkan diberhentikan.

Lebih jauh, kinerja pemerintah provinsi menjadi lebih efektif dengan peningkatan kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi informasi. Sistem informasi yang terintegrasi dalam Jakarta Smart City memungkinkan pemerintah provinsi melakukan diagnose, prognosa dan kontrol atas semua persoalan yang muncul di ibu kota. Melalui sistem ini, akuntabilitas pemerintah sampai pada tingkat paling rendah meningkat dan terjaga.

Karena itu, ketika selokan mulai bersih, sungai kota bebas sampah, trotoar semakin rapi, dan taman-taman kota tertata, di situ ada birokrasi yang bekerja. Dan semua itu terjadi karena mulai efektifnya sistem rekrutmen dan evaluasi yang baru. Sistem yang bertumpu pada prestasi dan hasil kerja, bukan suka-suka hati atasan atau kedekatan keluarga.

Kalau semangat perubahan ini terjadi apalagi berhasil diperlebar ke seluruh pelosok negeri, Indonesia memiliki masa depan yang lebih cemerlang. Amin!

 

Penulis adalah Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home