Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 14:22 WIB | Senin, 22 Juli 2013

Mengapa Soal Mayoritas-Minoritas Harus Hilang dari Mindset Kita?

SATUHARAPAN.COM – Masalah mayoritas dan minoritas kembali dibicarakan. Mengapa hal ini menjadi penting untuk didudukkan dengan tepat, bahkan dihilangkan dari mindset berbangsa dan bernegara?

Beberapa waktu lalu, Abdurrahman Wahid center for Inter-faith Dialogue and Peace Universitas Indonesia (AW Center UI) menyelenggarakan rountable discussion dengan tema “Minoritas di Asia Tenggara: Perspektif Akademiki, Aktivis dan Agama-agama.”

Dalam pengantar diskusi itu, Ahmad Suaedy menyebutnya kerisauannya bahwa soal mayoritas dan minoritas diartikan sebagai masalah jumlah. Hal ini berkaitan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menerima penghargaan World Stateman Award dari sebuah lembaga yang dimpimpin seorang rabbi. Dia menyebutkan kelompok yang menentang pemnghargaan itu sebagai suara minoritas. Hal senada juga dikatakan oleh Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat, Dinopati Djalal.

Minoritas dan mayoritas memang masalah ralita sosial, dan sekaligus hal ini mempunyai dimensi dan aspek yang beragam. Bukan hanya sekelompok orang bisa berada pada posisi mayotitas pada satu aspek dan menjadi minoritas pada aspek lain. Seseorang pun bisa mengalami hal yang sama. Petani di Indonesia adalah mayoritas (dari sisi jumlah) tetapi minoritas dalam kekuatan ekonomi.

Masalahnya, mengapa hal yang merupakan realita ini harus dihilangkan dari mindset kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pertama, mindset minoritas dan mayoritas, terutama berkaitan dengan identitas, adalah realita yang paling banyak digunakan dalam politik praktis untuk kepentingan yang mengingkari kepentingan nasional. Realita ini dijadikan sekat, pengelompokan dan bahkan dijadikan ajang pertentangan untuk kemudian diambil manfaat politisnya secara kerdil.

Dalam politik praktis, mindset ini akan menghancurkan demokrasi sebagai sarana untuk pembangunan bangsa. Sebab, proses politik dan demokrasi akan selalu didominasi oleh isu tentang perbedaan, sekat-sekat dan konflik, bukannya justru yang diperlukan kohesi, koeksistensi dan solidaritas.

Kedua, mindset minoritas dan mayoritas adalah pemikiran yang bertentangan dengan konstitusi dan dasar negara. Konstitusi dan hukum di Indonesia tidak mengenal terminologi minoritas dan mayoritas. Yang dikenal adalah warga negara. Negara wajib melindungi hak-hak warga negara tanpa memandang dia punya identitas yang minoritas atau mayoritas.

Pola pikir presiden dan pejabat negara yang menyebutkan kelompok tertentu sebagai minoritas dan bertendensi suaranya boleh diabaikan adalah pengingkaran pada konstitusi. Seorang warga negara, siapa pun dia harus dilindungi oleh negara, karena hal itu adalah kewajiban negara. Dan kewajiban negara harus dijalankan oleh pejabat negara.

Presiden adalah presiden bagi seluruh warga bangsa dan warga negara, bukan presiden bagi kelompok mayoritas. Jika presiden menganggap diri sebagai presidennya kelompok mayoritas, maka dia tak pantas disebut sebagai presiden Indonesia. Anggota DPR adalah wakil rakyat Indonesia, bukan wakil sekolompok warga negara. Jika anggota DPR bertindak untuk sekelompok orang saja dan mengabaikan konstitusi, dia tak pantas menyebut diri ssebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi anggota Dewan Perwakila Kelompok.

Ketiga, terminologi mayoritas dan minoritas, mengabaikan hak dan martabat manusia. Pemikiran ini melihat manusia hanya sebagai angka-angka, dan dengan kecenderungan kuat diposisikan sebagai objek ketimbang subjek. Hal ini akan merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan sang Khalik dan pemilik utama kedaulatan negara.

Mindset ini justru akan menjadikan kehidupan bangsa mengalami kesulitan untuk maju, karena banyak warga  yang terkuras sumber dayanya hanya untuk mempertahankan eksitensi dan identitas ketimbang berkontribusi bagi pembangunan bangsa.

Keempat, termonologi minoritas dan mayoritas lebih mencerminkan adanya ketimpangan, dan ketidak setaraan yang justru bersifat negatif ketimbang positif. Pemerintah yang menggunakan termonologi minoritas dan mayoritas adalah pemerintah yang keliru berpikir, karena memperlihatkan kegagalan dalam melaksanakan amanat, tetapi dengan suara lantang menjadikannya alasan untuk tidak melakukan perbaikan kinerja.

Kelima, selama pemerintah, dan elite bangsa ini menggunakan terminologi mayoritas dan mionoritas sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, maka mereka telah menutup banyak kebenaran, dan membuka jalan yang lebar bagi konflik di tengah bangsa ini. Elite semacam ini hanya akan membakar konflik, namun sama sekali tidak memiliki kemampuan memadamkannya.

Oleh karena itu, mindset minoritas dan mayoritas harus dibuang, karena pemikiran ini menjerumuskan bangsa Indonesia dalam bahaya yang besar. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home