Loading...
OPINI
Penulis: Woro Wahyuningtyas 00:00 WIB | Senin, 05 Oktober 2015

Mengembalikan Kesaktian Pancasila

“Pengungkapan kebenaran itu menyakitkan, tetapi sekaligus menyembuhkan” (Letjen.Purn. Agus Widjojo)

SATUHARAPAN.COM - Hari-hari ini adalah 50 tahun pembantaian masal itu. Media massa ada yang menyebutnya dengan istilah “setengah abad pelanggaran HAM 1965/1966”. Sudah lama, ya? Lebih tua dari umur saya.

Pada malam tanggal 30 September saya sempat keluyuran, walaupun tidak menyusuri beberapa jalan bersejarah, tetapi ingatan akan rasa penasaran pada suasana pada 50 tahun yang lalu begitu kuat. Jika semua orang terjebak pada tanggal 30 September 1965, mungkin ada yang dilupakan bahwa tragedi pembunuhan masal itu terjadi dalam rentang waktu antara tahun 1965-1967 dan deretan kepiluan panjang setelahnya.

 

Teror sepanjang Masa

Reformasi sudah terjadi selama 17 tahun, dengan harapan kehidupan demokrasi di Indonesia makin membaik setelah 32 tahun di bawah pemerintahan rezim ototarian. Pasca-berakhirnya kekuasaan Suharto, banyak ‘sumber bacaan lain’ soal tragedi 65 yang bisa dikonsumsi publik. Mulai dari hasil penelitian, catatan pribadi sampai fiksi. Semua menambah perspektif yang berbeda dari yang dikonsumsi selama 32 tahun.

Tentu itu sebuah cerita baik setelah reformasi, yang artinya memasuki era demokrasi di Indonesia. Beberapa film dokumenter juga diproduksi dalam 5 tahun terakhir, tiga film yang cukup popular adalah “40 years of silence”, “the act of killing”, dan yang terakhir adalah “senyap”. Film ini adalah film dokumenter yang digarap dengan baik, mengisahkan sisi lain kepiluan tragedi 65.

Ironisnya, peristiwa 50 tahun yang lalu ini sering menjadi pembicaraan hangat hari-hari ini. Kegaduhan itu datang dari pidato Presiden RI pada tanggal 14 Agustus yang lalu. Resistensi datang dari berbagai pihak, terutama dari TNI, ormas keagamaan, akademisi bahkan orang awam. Pro kontra terjadi antar warga negara soal meminta maaf kepada korban/keluarga PKI ini layaknya makanan hangat nan lezat, menjadi santapan banyak media dan mengalir deras seperti sungai Brantas di media sosial.

Siapa penghembus isu permintaan maaf negara ini sebenarnya? Dalam pidato Presiden Jokowi yang lalu sebenarnya tidak secara khusus memperbicangkan soal pelanggaran HAM tahun 1965, tetapi atas seluruh pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Dari hal ini kita mengetahui bahwa ada sejumlah pihak yang berusaha membelokkan materi pidato tersebut, atau dalam kaca mata yang lain, rencana membentuk komisi rekonsiliasi atas pelanggaran HAM masa lalu dari Presiden mendapatkan sejumlah penolakan. Mungkin sang Presiden kita ini sedang mengukur tingginya gelombang resistensi di bangsa ini.

Di luar semuanya itu, pasca reformasi yang hampur 20 tahun ini, mantera “komunisme” ini masih cukup menakutkan banyak orang di Indonesia. Makhluk gaib itu masih dijadikan mantera oleh beberapa pihak, dan ajaibnya, masih manjur! Mari kita ambil beberapa contoh bagaimana terror itu masih digunakan dan seolah diabadikan. Pertama, pada diorama Monumen Nasional, beberapa diorama yang berhubungan dengan sejarah tahun 1965 masih menggunakan kalimat “pemberontakan G30S/PKI”, kita semua mahfum saat ini masih sumir soal sejarah pada masa itu, tetapi di arena publik, stigma bahwa PKI yang melakukan pemberontakan masih “dikampanyekan”, dan bagi saya ini structural, karena tempat ini dikelola oleh pemerintah. Kedua, pemutaran kembali film provokatif “penghianatan G30S/PKI” yang dilakukan di berbagai tempat, seperti yang terjadi di Kodim 0807/02 Bonyolangu. Di media sosial, sharing undangan pemutaran film itu beredar. Tempat lain adalah di Gresik, Jawa Timur. Muspida di Gresik, pada tanggal 1 Oktober 2015 sebelumnya menyelenggarakan acara nonton bareng film "Pengkhianatan G30S/PKI" untuk siswa SD sampai SMA. Masih ada beberapa broadcast di beberapa grup percakapan yang memberitakan soal pemutaran film ini.

Contoh lain adalah larangan diskusi berjudul "Setengah Abad Gendjer-gendjer" yang rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 3 Oktober 2015 oleh HMJ Pendidikan Sejarah Universitas 17 Agustus 1945, Banyuwangi. Kedua contoh tersebut cukup untuk berkesimpulan, bahwa ini adalah upaya menebar terror secara structural. Ketiga, peran media melanggengkan terror. Dalam sebuah media lokal di Mojokerto Jawa Timur, dalam salah satu halamannya, menyebutkan soal bahaya neo-komunisme. Ketakutan akan komunisme ini sepertinya masih laku menjadi jualan. Keempat, pembiaran aparat pada upaya “hate speech”. Bulan lalu di kota Solo, saya melihat spanduk besar diletakkan pada tempat yang strategis dengan kalimat provokatif pada PKI. Spanduk itu menuliskan soal pembunuhan 7 jenderal yang konon dilakukan oleh PKI. Belum lagi pemutaran film serupa di salah satu TV lokal di Yogyakarta pada 1 Oktober 2015.

 

Upaya Rekonsiliasi

Tidak ada yang menolak, bahwa rekonsiliasi telah banyak terjadi di akar rumput. Beberapa media memberitakan itu. Mereka sudah saling berinteraksi dengan baik dalam kehidupan keseharian antara pelaku dan korban. Mereka tentu telah saling bertutur dan memaafkan satu sama lain. Ini tentu sebuah langkah maju, tanpa intervensi dari negara.

Pengalaman rekonsiliasi “kecil-kecilan” ini juga saya saksikan pada bapak saya. Selama 11 tahun sebagai tahanan politik, kehilangan hak politik setelahnya. Tetapi, sepulang dari tempat pengasingan Pulau Buru dia tidak membenci orang yang dicurigai telah melaporkannya pada Koramil, juga orang yang sama menolak kepulangannya dari Pulau Buru pada tahun 1976-1977. Itu dibuktikan dengan surat yang ditunjukkan padanya oleh komandan tahanan di masa itu. Bapak saya langsung memaafkan dia, terbukti dia langsung mau bertegur sapa dengannya, berinteraksi dengannya tanpa hambatan. Dan inilah salah satu contoh upaya rekonsiliasi akar rumput itu.

Persoalannya, tepatnya pertanyaan selanjutnya, apakah rekonsiliasi “kecil-kecilan”  ini kemudian dijadikan pembelajaran baik bagi para penyelenggara negara? Kita akan lihat beberapa upaya yang dilakukan. Gus Dur, mengucapkan permintaan maaf kepada seluruh korban tahun 1965, yang walaupun permintaan maaf itu disebut oleh Pramudya Ananta Toer, salah satu mantan tapol adalah sebuah bentuk basa-basi. Tetapi, upaya yang dilakukan Gus Dur ini perlu diapresiasi. Dialah orang pertama yang secara terbuka untuk meminta maaf, entah atas nama ormas besar di mana dia ada, atau atas nama presiden. Selanjutnya, tahun 2000 dimotori oleh aktivis muda NU, terbentuklah Syarikat Indonesia (Masyarakat santri untuk advokasi Indonesia), sebuah lembaga yang mencoba melakukan rekonsiliasi mantan tapol 1965 dengan pengungkapan kebenaran, demikian tutur Imam Aziz yang kala itu menggawangi Syarikat Indonesia.

Walikota Palu, H. Rusdy Mastura menyampaikan permohonan maaf kepada mantan tapol 1965 yang diungkapkannya di hadapan ratusan keluarga korban dalam acara seminar hasil penelitian dan verifikasi korban peristiwa 1965/1966 di kota Palu pada Selasa (19/5) di ruang auditorium kantor walikota Palu. Keberanian walikota ini tidak tanpa dasar, dia berkeinginan kuat agar peristiwa kelam itu tidak terjadi lagi. Dia bertekad untuk mengubah paradigma masyarakat, terutama di kota Palu agar sadar HAM. Permohonan maaf ini pun tidak terhenti sampai di situ, tetapi diikuti oleh program rehabilitasi dan rekonsiliasi pada korban pada tahun 1965 yang ada di Palu. Menurutnya, memenuhi hak para korban ini penting.

Setelah itu, penyelenggara negara mana yang melakukan upaya rekonsiliasi? Sependek pengetahuan saya, belum ada sampai hari ini. Beberapa pejabat negara, salah satunya Menko Polhukam di beberapa kesempatan malah mengatakan bahwa negara tidak akan pernah minta maaf. Walaupun, di saat yang sama, dia mengatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan upaya rekonsiliasi. Tetapi, bagaimana rekonsiliasi ini bisa terjadi tanpa pengungkapan kebenaran? Ini juga yang diungkapkan dalam surat terbuka Pram untuk Gunawan Mohammad di Tempo pada tahun 2000 yang lalu.

Sebenarnya apa syarat rekonsiliasi itu? Letjen TNI (Purn) Agus Widjoyo, salah satu anak korban tahun 1965 (Letjen Sutoyo), mengungkapkan empat aspek rekonsiliasi. Pertama, keadilan, kedua pengungkapan kebenaran, ketiga reparasi dan keempat reformasi kelembagaan. Keempat syarat ini tentu harus dipenuhi secara sadar oleh negara. Artinya, keseluruhan proses ini harus didasarkan dan diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk itu. Jangan sampai, semangat rekonsiliasi yang sudah berjalan dengan sangat baik di akar rumput menjadi kehilangan momentum dalam proses kita bernegara hanya karena negara masih takut dengan “mantera” komunis di Indonesia.

Upaya rekonsiliasi ini tidak akan jadi utopis, jika kita semua, termasuk negara mau mengungkapkan kebenaran terkait kasus 1965. Kesaktian Pancasila juga akan kembali kita nikmati, karena sisi kemanusiaan kita menguat dengan adanya rekonsiliasi ini. Pengungkapan kebenaran, akan membawa kita melompat lebih jauh untuk sebuah upaya rekonsiliasi, juga harapan menghilangkan “the black hole” dari bangsa ini.

 

Penulis adalah Direktur JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen) Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home