Loading...
OPINI
Penulis: M. Saddam SSD Cahyo 00:00 WIB | Kamis, 01 Oktober 2015

Mengabaikan Bencana Asap, Membunuh Peradaban

SATUHARAPAN.COM - Secara beruntun berita di televisi menayangkan, ditemukannya seekor ular piton berukuran tujuh meter yang memasuki perkampungan warga dalam keadaan lemas dan kulit gosong di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Seekor bayi orangutan ditemukan dalam keadaan dehidrasi akut di Pontianak Kalimantan Barat, dan ratusan warga di kaki Gunung Dempo Sumatera Selatan harus bersiaga menghalau masuknya hewan buas-liar seperti harimau, beruang, dan babi hutan ke perkampungan.

Tak lain asaplah yang telah menimbulkan semua kekacauan ini dalam kurun hampir dua bulan terakhir. Ribuan hektare lahan dan hutan di Indonesia setiap tahunnya habis terbakar, yang tentu menimbulkan kerusakan ekologis yang sangat fatal. Lantas apalagi sebenarnya yang masih dirasa kurang untuk meneguhkan pikiran kita semua, bahwa kabut asap adalah sebuah bencana nasional? Sampai harus terus berulang selama 18 tahun terakhir.

Tahun 2015 ini, luas areal yang terbakar di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan belakangan mulai merambat ke pegunungan di Sulawesi. Setidaknya sudah tercatat 33.977,25 hektare dengan lebih dari seribu titik api, dan 131 kasus dengan 27 tersangka korporasi dan perorangan yang disidik Kepolisian, ini jauh berlipat ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Begitupun kerugian material yang diprediksi akan jauh melampaui angka 20 triliun rupiah di tahun 2014 yang lalu. Maklum, kabut asap yang berlarut seperti ini memang sangat ampuh memacetkan roda perekonomian di berbagai lini.

Kerugian pada kualitas hidup manusia jauh lebih berat lagi. Wilayah Riau saja, Dinas Kesehatan mencatat peningkatan 100% dari tahun sebelumnya, yakni 43.386 orang terkena ISPA yang berdampak buruk dalam jangka panjang, berupa kanker dan kelainan paru-paru, hingga resiko melahirkan anak down syndrome. Sedang pencemaran udara yang batas angka konsentrasi partikulatnya dibawah 150, bahkan berada di kisaran 300-750 dengan jarak pandang terparah hanya 5 meter.

Bencana asap di Indonesia pada akhirnya juga menimbulkan keresahan bagi negeri-negeri tetangga yang ikut terpapar, seperti Singapura dan Malaysia. Perang gambar meme dan tagar #TerimaKasihIndonesia vs #SamasamaMalaysia di dunia maya bisa menjadi cerminan yang buruk. Terlepas dari adanya fakta korporasi asal negeri tersebut yang terlibat sebagai pelaku pembakaran lahan, tetap saja tidaklah semestinya mempekeruh hubungan regional antar negara yang saling membutuhkan ini.

Lebih dari itu, hutan Indonesia telah dikenal sebagai paru-paru dunia, sebagai salah satu penyumbang terbesar oksigen yang menyehatkan udara sedunia. Sementara saat ini, lewat bencana asap kita justru rutin melepas 1,5 hingga 2 ton gas karbon ke atmosfer, yang memacu efek rumah kaca untuk terus meningkatkan suhu bumi ke arah yang destruktif.

 

Kejahatan Luar Biasa

Tentu kita wajib angkat topi dan berterimakasih sepenuh hati pada segenap pihak yang bekerja keras memadamkan api. Tapi dalam konteks kebakaran hutan, kita tak boleh cukup berpuas hati, salah-salah ini malah menjadi pekerjaan rutin tambahan yang sama sekali tidak pernah menyentuh akar masalah. Karena sudah nyaris benderang bahwa masalah ini lebih dilatari motif ekonomi dari manusia yang picik.

Tim ahli dari LIPI pun sudah sering menerangkan bahwa tipikal hutan tropik seperti di Indonesia tidaklah memungkinkan terjadinya kebakaran ekosistem secara alamiah, kecuali jika ada unsur ketidaksengajaan atau justru kesengajaan untuk menyulut api. Problemnya, di tahun ini memang sedang berlangsung musim kemarau ditambah fenomena El Nino yang menimbulkan kekeringan panjang telah semakin memudahkan penyebaran titik api.

Hal yang paling wajib untuk lebih dulu disepakati adalah bahwa tindakan membakar lahan apalagi hutan secara teroganisir hingga mengakibatkan bencana adalah bentuk extraordinary crime, yang patut diganjar hukuman seberat mungkin. Tapi apa daya, perangkat hukum terkait seperti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32/2009, UU Kehutanan No.41/1999, UU Perkebunan No.39/2014, dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya No.5/1990 masih sangat dirasa kurang efektif, karena tak diimbangi komitmen penegakannya di lapangan.

Indonesia membutuhkan komitmen yang jauh lebih besar dari para pemimpinnya untuk menyudahi bencana asap. Mau tak mau, untuk masalah ini pendekatan top-down lah yang harus diutamakan, terlalu sulit rasanya jika kita hanya menaruh harapan bahwa oknum masyarakat, baik perorangan dan terlebih korporasi akan begitu saja tersadarkan dan berhenti melakukan pembakaran lahan, terbukti dari angkanya yang malah terus meningkat setiap tahun.

Aturan hukum terkait tindak pidana dan perdata atas bencana asap sudah semestinya dibuat kokoh dan lengkap, mulai dari UU, Peraturan-Peraturan Daerah, Kementerian, hingga ke tingkat Desa pun semestinya didorong untuk turut memberikan ancaman yang serius. Lebih dari itu, kembali juga ke persoalan klasik soal prakteknya yang selama ini terlalu mudah dicari celah yang tersiasati oleh jejaring mafia hutan dan perkebunan. Seluruh aparat dan instansi terkait wajib bekerja dalam satu irama gerak, jangan lagi saling bertumpang tindih dan malah berpangku tangan jika sudah menjadi perkara.

Efek jera hanya akan berhasil jika pemerintahan saat ini berani melompati langkah-langkah minimalis yang sudah dipraktekkan rezim sebelumnya. Jika poin per poin aturan yang ada  tentang hal ini dirasa sudah cukup kuat dan tak perlu dievaluasi, maka segeralah bertindak tegas, konkret, dan cepat. Namun alangkah baiknya jika pengalaman pahit di tahun ini sungguh-sungguh dijadikan bekal bagi semua pihak yang berwenang untuk bertindak lebih preventif. Karena menyudahi bencana asap berarti menyelamatkan peradaban. Sebaliknya jika mengabaikan, itu berarti kita ikut membunuh peradaban. Tabik!

 

Penulis adalah alumnus FISIP Universitas Lampung, aktif di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home