Loading...
INSPIRASI
Penulis: B. Riyanto 11:45 WIB | Minggu, 04 Juli 2021

Menghormati

Seorang Nabi Dihormati di mana-mana Kecuali di Tempat Asalnya Sendiri
Menghormati. (Foto: Pixabay)

SATUHARAPAN.COM - Abraham Maslow dalam sebuah observasi menemukan teori piramida lima kebutuhan dasar manusia. Ia menempatkan kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualization Needs) pada puncak piramida.

Sebuah kebahagiaan atau bisa dikatakan “keselamatan” bagi setiap kita, bila harapan keberadaan kita diterima oleh orang lain (komunitas/lembaga/kelompok/keluarga). Manifestasi dari aktualisasi diri ini bisa berupa: ide, gagasan, kebiasaan baik (budaya), peran, fungsi, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian keberadaannya dapat bermanfaat bagi orang lain.

Kadang, antara harapan dan kenyataan tidak seiring sejalan, begitulah hukum alam. Hukum kehidupan juga terjadi, termasuk kita manusia mengalami paradoksal kehidupan. Kita tidak mengetahui mesti sedih atau bahagia dalam menyikapi hal tersebut.

Ada seorang ibu yang berbicara sangat kasar dengan anak sendiri, dalam waktu yang sama bisa lemah lembut dengan orang lain. Ada juga seorang suami begitu pelit dengan istrinya, tapi dengan orang lain amat royal (hidup sosialnya baik). Dalam organisasi, ada banyak anggota yang berpotensi tapi orang luar organisasi yang dipilih. Singkatnya, di kalangan internal sendiri, kita tidak diterima, tidak diakui, tidak mendapatkan apresiasi dan sebagainya, intinya kita mendapat penolakan.

“Seorang Nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya” (Markus 6:1-6). Karena seorang nabi memiliki tugas perutusan untuk mewartakan kebenaran atau pembaharuan cara hidup dan cara bertindak. Maka, jika yang terpanggil untuk menjadi “nabi” adalah teman yang lama dikenal, pada umumnya orang kurang percaya kepadanya.

Menghormati rekan sendiri memang lebih sulit daripada menghormati orang lain. Namun, hemat saya, jika terhadap saudara-saudari dekat tidak dapat saling menghormati, maka menghormati orang lain merupakan pelarian tanggung jawab.

Marilah dengan rendah hati kita saling menghormati, saudara-saudari kita yang setiap hari hidup dan bekerja sama dengan kita. Jika salah seorang saudara atau kenalan kita terpanggil untuk menjadi orang baik, apalagi tokoh penting dalam masyarakat atau agama, hendaknya kita bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Hendaknya secara konkret menghormati orang yang bersangkutan selayaknya, sembari mendoakan bagi yang terpanggil menjadi “nabi” karena harus menghadapi tantangan dan hambatan yang berat dalam rangka memperjuangkan kebenaran-kebenaran.

Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, nasihat Injili di atas amat bermakna  Sebab, rasa nasionalisme akhir-akhir ini menjadi begitu penting di era globalisasi. Banyaknya budaya luar yang masuk tentu berpotensi menggerus kearifan lokal (local wisdom), sehingga kita harus tetap mengenal dan mencintai budaya negeri sendiri, di tengah kebiasaan masyarakat yang menerima begitu saja budaya luar tanpa menilai baik buruknya.

Perisai yang ampuh untuk menangkal pengaruh buruk yang menjadi tugas dan fungsi kita adalah penerapan ajaran agama yang akan menuntun kita untuk berbuat baik dan benar. Hal ini akan mampu mewujudkan Indonesia yang siap menghadapi perubahan zaman. Tuhan memberkati.

 

B. Riyanto (Kemenag)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home