Loading...
ANALISIS
Penulis: Doni Setyawan 21:47 WIB | Jumat, 13 Maret 2015

Menimbang Eksekusi Mati dan Relasinya dengan Negara Lain

Aktivis dari LSM SIGMA Indonesia (Sinar Generasi Masa Depan) Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Senin (9/3). Para aktivis tersebut mendukung pemerintah terhadap pelaksanaan hukuman mati kepada pelaku pidana narkoba serta dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak takut kepada tekanan negara asing. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM - Hiruk pikuk keputusan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajaran pemerintahannya terkait dengan hukuman mati untuk para terpidana gembong narkoba masih hangat diperbincangkan. Selalu dalam setiap kasus, hukum alam berbicara, ada dua kubu. Kubu yang pro dan kubu yang kontra. Semua kubu lengkap dengan amunisinya yang siap ditembakkan ke kubu di seberangnya.

Terakhir, penarikan duta besar Indonesia untuk Brasil dan berbagai celoteh Perdana Menteri Australia terkait bantuannya untuk Tsunami aceh menimbulkan gelombang reaksi yang beragam. Itu diikuti oleh komentar yang tegas dari Presiden Joko widodo bahwa penarikan duta besar Indonesia untuk Brasil (dan mungkin akan diikuti yang lain) adalah wujud nyata pembelaan kemandirian Indonesia sebagai Negara yang utuh dan berdaulat.

Terkait hukuman mati, memang ada beberapa pandangan yang berlatar agama yang masing-masing berbeda. Penulis berbeda dengan mantan ketua umum PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia) yang menolak hukuman mati dengan pertimbangan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengilangkan hak hidup manusia lain, namun penulis akan menganalisanya dari sudut pandang yang lain. Sudut pandang itu adalah generasi yang akan datang serta upaya pemberantasan sindikat narkoba kelas dunia.

Pada hemat penulis, keputusan tegas Pemerintah dalam memvonis mati para gembong narkoba itu tepat. Mengapa demikian? Karena itu sebuah hukum yang sudah diolah dalam jangka waktu yang lama dan juga telah dipublikasikan ke semua pihak. Hukumanan mati dalam konstelasi hukum di Indonesia bukanlah asal buat, melainkan sebagai “Tindakan Terakhir” demi menjaga dan memelihara keutuhan dan keberlangsungan generasi.

Hukum yang dibuat, yaitu hukuman mati ini telah dipergumulkan dalam waktu yang lama dan juga biaya yang sangat mahal, serta telah dipublikasikan ke masyarakat, juga dalam hal ini negara sahabat. Artinya, negara sahabat pastilah mengerti akan hal ini dan dengan demikian,seharusnya mampu menata atau memberikan ketegasan yang sama kepada warga negaranya agar tidak melanggar aturan negara lain.

Negara yang warganya melanggar aturan negara lain sampai kemudian mendapatkan hukuman mati, seharusnya bercermin bahwa itu adalah sebuah wujud kegagalan negara di dalam mendidik dan mengatur warga negaranya. Kebijakan memvonis mati terdakwa narkoba, pada hemat penulis sama dengan keputusan Menteri Susi dan jajarannya di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang akan (dan telah terbukti) menenggelamkan semua kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia namun tanpa ijin resmi. Namun dalam publikasi sangat berbeda.

Kembali dalam konteks hukuman mati. Salahkah penghukuman mati itu? Masalah salah atau benar tergantung dari sejauh mana kebaikan yang terkandung di dalamnya. Penulis hanya berasumsi bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden, selain bertujuan menjaga kewibawaan (kedaulatan) Negara Indonesia, juga melihat ke “Korban Generasi Muda ” yang sejatinya lebih mengerikan.

Bisa dibayangkan, bila tidak hukuman tegas dengan hukuman mati bagi para tersangka narkoba, betapa narkoba akan beredar bebas di seluruh lapisan masyarakat, dan betapa generasi muda bangsa ini akan perlahan lahan mati dan habis. Jika memang kemudian generasi muda habis, atau linglung karena narkoba yang beredar tak terkendali, maka akan mudah negara lain untuk mengambil wilayah subur Negara ini.

Jika memang demikian analisanya, bolehlah kita berasumsi bahwa peredaran narkoba di Indonesia ada dalam sebuah skema dari kelompok Internasional tertentu dan itu merupakan sebuah jaringan rapi dan negarapun terlibat di dalamnya. Maka dengan alasan ini, pemerintah negara-negara yang warganya terkena hukuman mati akibat menjadi gembong narkoba yang mengedarkannya di Indonesia akan kebakaran jenggot. Bisa jadi kemarahan mereka bukan karena warganya dihukum mati namun karena “Agenda Tersembunyi” mereka hancur berantakan dengan ketegasan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Jika tidak ada ketegasan dari Negara, maka Negara akan diremehkan, diijak-injak (dan bukanlah selama ini Indonesia selalu menjadi negara yang diremehkan, sampai-sampai orang lebih mengenal Bali daripada Indonesia?) itulah resikonya. Namun dengan ketegasan dengan menghukum mati para terpidana narkoba, penolakan terjadi, baik dari pihak negara tetangga maupun dari dalam Negara sendiri.

Dan jika dicermati lebih jauh, penolakan di dalam negeripun bukan penolakan murni berdasarkan pada hakekat manusia dan kemanusiaan, namun tak lebih dari sebuah “Peran Drama” dalam panggung Komedi Politik di Indonesia. Kesimpulan saya, jika ada hukuman yang lebih memberikan efek jera selain hukuman mati, mungkin itu bisa dijadikan alternatif. Namun, selama belum ada, biarlah hukuman mati bagi terpidana narkoba itu tetap berjalan.

Toh, jika semua mengerti dan menghormati serta tidak hanya memikirkan “Perutnya” sendiri, tidak mungkinlah akan ada orang atau kelompok yang tega memperkaya diri dengan merusak yang lain. Biarlah keputusan Presiden Joko Widodo, tentang hukuman mati tetap berjalan, sembari semua menata diri demi kebaikan dan kesejahteraan bersama tanpa mengorbankan yang lain.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home