Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 11:25 WIB | Selasa, 10 Maret 2015

Negeri Miskin Logika

Ilustrasi. (Foto: wikimedia)

SATUHARAPAN.COM – “Muka buruk cermin dibelah,” adalah perumpamaan yang sering digunakan untuk menggambarkan kesalahan alur pikiran. Ketika tampak di cermin, wajah seseorang buruk, lalu cermin disalahkan dan dipecahkan. Tentu tindakan ini tidaklah benar menurut akal sehat. Seharusnya, nalar atau alur berpikir yang benar adalah jika muka atau wajah buruk, wajah itu yang diperbaiki, bukan cermin yang dirusak. Contoh ungkapan lain yang sering dikutip untuk menunjukkan kekeliruan alur berpikir dan bertindak adalah “Menjadi sarang tikus, rumah dibakar.” Yang benar adalah tikusnya dibasmi dan sarangnya dikeluarkan dan dibakar, bukan rumah yang dibakar.

Akibat dari alur berpikir yang salah, bertindak pun salah. Akibat dari cara berpikir yang keliru itu adalah kerugian yang sia-sia. Wajah tetap buruk, cermin sudah rusak dan harus mengeluarkan uang untuk membeli cermin yang baru. Tikus masih tetap hidup tetapi rumah sudah hangus terbakar sehingga harus mencari tempat tinggal lain atau membangun rumah yang baru. Cara berpikir seperti itu tidak sesuai dengan nalar yang sehat atau sering disebut tidak logis.

Kebijakan Miskin Logika

Dalam kenyataan hidup masyarakat kita di Indonesia, tampak banyak kebijakan negara dan perilaku masyarakat yang menunjukkan pengabaian logika. Misalnya, kasus penutupan penjualan tiket di Bandar Udara (Bandara). Alasan penutupannya adalah untuk memberantas percaloan tiket. Logisnya, jika tujuannya memberantas percaloan, tentu para calo itu yang diberantas; mereka ditangkap, dipenjara atau didenda untuk membuat jera sehingga mereka tidak lagi beroperasi sebagai calo. Jika untuk memberantas percaloan, pengawasan dan penjagaan terhadap proses penjualan tiket diperketat dengan sama sekali tidak memberi peluang terhadap pergerakan percaloan.

Jika sudah menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan atau negara Indonesia, seharusnya, sesuai logika, seseorang sudah paham dan menguasai hal-hal penting dalam kehidupan bernegara, seperti dasar negara dan ideologi serta Undang-Undang Dasar. Tetapi menjadi tidak logis ketika ada seorang anggota parlemen yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila, apalagi paham UUD ‘45. Yang tidak logis juga adalah ketika mereka harus menggunakan jasa tim ahli beserta beberapa karyawan sekretariat dengan jumlah yang berlebih. Akibatnya ada inefisiensi dan pemborosan anggaran negara.

 Jika logika dipergunakan, tentu tidak akan dihasilkan kebijakan menaikkan harga gas tabung 12 kg sehingga menjadi berharga empat kali lipat dari harga gas 3 kg padahal jenis gasnya sama. Gas 12 kg dikatakan untuk masyarakat kelas menengah sedangkan yang 3 kg untuk kelas bawah yang disubsidi. Yang tidak logis adalah bagaimana menentukan kelas menengah dan bawah lalu memisahkan penjualan kepada mereka. Setiap orang akan memilih membeli barang yang sama dengan harga yang lebih murah dan itu tidak dilarang. Buktinya, ada lonjakan pembelian gas 3 kg dan penurunan konsumsi gas 12 kg karena yang selama ini menggunakan 12 kg beralih ke 3 kg. Lagi pula, kebijakan itu memberi peluang kepada para “pebisnis nakal” untuk melakukan pengoplosan, memindahkan gas dari tabung 3 kg ke 12 kg untuk mendapatkan untuk yang berlipat-lipat. Kenaikan gas berbeda dengan kenaikan antara bensin premium dan pertamax yang jenis dan konsumen-nya berbeda.

Logika tidak digunakan juga ketika kebijakan kartu e-toll. Kartu E-Toll dijual dengan harga 50 ribu rupiah dengan isi (deposit) hanya berjumlah 30 ribu rupiah. Orang yang berpikir simpel dan mengetahui hal itu tentu tidak akan membeli e-toll, karena lebih murah menggunakan pembayaran tunai. Sebelumnya kartu tersebut dijual dengan harga sesuai depositnya. Jika seseorang menggunakan jalan tol itu begitu sering, mungkin tidak dirugikan. Namun jika orang hanya menggunakannya sesekali tentu terasa kerugiannya. Kebijakan yang tidak logis seperti itu tidak baik.

Jika orang berpikir dan bertindak logis, tentu kita tidak akan mendengar cerita tentang penutupan gedung ibadah; atau pelarangan orang beribadah; atau ada kerusuhan antarumat beragama atau beda agama. Hal ini karena, tentu secara logis, dengan nalar yang benar, rumah ibadah adalah tempat di mana sesuatu yang baik terjadi; orang beribadah, menyembah Tuhan. Bahwa orang beribadah tentu melakukan kebaikan bukan kejahatan. Lalu mengapa yang baik justru dilarang? Ada ungkapan yang dapat dibenarkan bahwa di negeri ini tidak jarang “mendirikan bar, pup atau diskotik jauh lebih mudah dari pada mendirikan gedung ibadah.” Kembali, yang tidak logis, tidak sesuai dengan nalar-akal sehat tidaklah baik; hasilnya buruk.

Berpikir dan Bertindak dengan Logika

Logika adalah cara berpikir yang menggunakan nalar atau alur pikiran yang sesuai dengan akal sehat. Logika menyoroti sesuatu pada substansi atau esensinya; jadi pada hal-hal yang prinsipil. Ia mempertimbangkan sebab-akibat atau kausalitas suatu pikiran dan tindakan. Berpikir dan bertindak logis menghasilkan sesuatu yang baik, benar dan tepat. Keputusan atau kebijakan berdasarkan pertimbangan logis tidak terbantahkan atau akan selalu diterima. Kualitas pikiran dan tindakan yang sesuai logika tidak akan mengakibatkan kontroversi karena dasar dan pertimbangannya selalu masuk akal. Itu akan diterima jika dipertimbangkan dengan menggunakan pikiran atau akal sehat

Alur berpikir logis atau menggunakan logika yang benar identik dengan kecerdasan. Orang yang logis adalah orang yang cerdas. Kecerdasan seseorang tampak pada penggunaan metode atau pola berpikir yang menggunakan pertimbangan-pertimbangan prinsipil dan kausalitas atau sebab-akibat. Ia memperhitungkan hakikat, dasar-dasar dan langkah-langkah yang diambil serta efek atau akibatnya. Kecerdasan identik dengan kebijaksanaan atau hikmat. Jadi orang yang berpikir dan bertindak logis adalah cerdas dan bijaksana.

Seorang yang tekun dan bekerja keras akan menghasilkan banyak hal atau berhasil dibanding dengan seorang pemalas. Seseorang dihukum karena melakukan kejahatan. Pohon di pinggir jalan ditebang karena sudah terlalu besar dan rapuh. Mendirikan gedung ibadah harus didukung karena di situ kebaikan terjadi. Inilah nalar yang benar, inilah logika.

Stanley R. Rambitan, Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat, Dosen Pascasarjana UKI Jakarta 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home