Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 10:32 WIB | Jumat, 23 Januari 2015

Menko Perekonomian Era Megawati Beberkan Skenario Perang Minyak Dunia

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Foto: Prasasta Widiadi/satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gurubesar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang juga menko perekonomian di era Megawati Soekarnoputri, mengatakan gejolak ekonomi global di masa mendatang akan diwarnai oleh perang minyak antara Amerika Serikat dengan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, untuk memperebutkan pangsa pasar minyak dunia.

Bagi Amerika Serikat, menurut mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu, ini adalah perang dalam perspektif jangka panjang --bisa sampai 50 tahun -- untuk mewujudkan cita-cita mereka menjadi eksportir minyak dunia.

"AS berharap shale oil mereka akan bisa menaikkan produksi di AS sehingga muncul sebagai eksportir minyak dunia. Tapi perubahan yang terjadi ini akan lama. Ini adalah perspektif jangka panjang yang bisa mencapai 50-an tahun," kata Dorodjatun ketika menjadi pembicara kunci pada pertemuan tahunan yang diselenggarakan ANZ Bank dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, bertema ANZ Economic Outlook 2015: Towards a New Equilibrium, di Hotel Fairmont, Jakarta, tadi malam (22/1).

Pada acara yang juga diiisi oleh talkshow dengan menghadirkan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Wardjiyo, Dorodjatun membawakan paparan yang diberi judul Gempuran Tantangan Ekonomi Global: Observasi Awal Tahun 2015.

Dorodjatun mengatakan Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah tidak akan tinggal diam dengan upaya AS itu. Mereka tidak mau mengorbankan pangsa pasar dengan memotong produksi.

"Karena Arab Saudi tidak mau pangsa pasarnya turun. Sebab jika harga ini ditahan, itu berarti shale oil akan dibiarkan masuk. Pangsa pasar Arab Saudi maupun negara OPEC lainnya akan turun."

"Maka market battle ini masih akan sangat lama antara AS dengan Timur Tengah. Termasuk dengan OPEC yang tidak mau market share-nya berkurang," tutur mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu. Apalagi, menurut dia,  break even point atau titik impas negara-negara Timur Tengah cukup rendah, yaitu US$ 20 per barel, menyebabkan mereka masih kuat bertahan dengan penurunan harga yang panjang.

Sebagai catatan, shale oil adalah sumber minyak nonkonvensional, berupa batuan sedimen yang mengandung material organik yang apabila di-retort pada suhu 550°C akan menghasilkan minyak. Dua negara yang sudah maju dalam mengembangkan minyak jenis ini adalah Amerika Serikat dan Kanada.

Menurut Dorodjatun, perang minyak antara AS dan negara-negara Timur Tengah akan menyebabkan pasar minyak juga menjadi bergejolak. Pada gilirannya, perekonomian dunia pun ikut bergejolak. Sebaliknya, Dorodjatun juga melihat bahwa gejolak ekonomi dapat pula membuat gejolak di pasar minyak.


"Salah satu indikator gejolak ekonomi dunia adalah harga minyak. Ketika saya meninggalkan kabinet pada bulan September 2004, harga minyak masih US$ 40 per barrel. Hanya beberapa bulan kemudian, harga minyak sudah sampai ke US$ 136 per barel. Ketika terjadi krisis subprime mortgage di AS pada tahun 2008, harga minyak terbanting hingga ke angka US$ 34 per barrel. Sekarang, harga minyak sudah turun hingga 50 persen," papar dia.

"Jadi dapat dikatakan pasar minyak bergejolak. Dan pekerjaan rumah Indonesia adalah mengantisipasi potensi pergolakan ekonomi dunia dan apakah bisa menjawabnya," kata dia.

Indonesia Bukan Negara Gagal

Gejolak ekonomi dunia, tambah Dorodjatun, semakin sering terjadi seiring karena ekonomi negara-negara di dunia semakin saling berhubungan dan terintegrasi. Apa yang diistilahkan dewasa ini sebagai kembalinya perekonomian dunia ke the new normal, tutur dia, merupakan cerminan dari tidak normalnya keadaan perekonomian selama ini.

"Dalam kurun waktu 40 tahun ekonomi dunia semakin sering bergejolak. Gejolak bisa berasal dari mana saja. Bisa terjadi dari kelompok negara-negara maju seperti G-7, atau terjadi di satu kawasan seperti zona euro dan bisa juga seperti krisis moneter di ASia dan datang dari berbagai sumber," tutur dia.

Dorodjatun mengingatkan bahwa dalam kurun waktu 40 tahun, otoritas ekonomi berbagai negara terlalu mengandalkan kebijakan moneter dalam mengatasi krisis. "Dan ternyata itu kurang mampu mengendalikan situasi," kata dia.

Akibat terlalu asyik dengan kebijakan moneter, lanjut dia, tingkat utang (indebtedness) negara-negara maju makin besar. Kini malahan sudah melampaui negara-negara sedang berkembang.

Untungnya, lanjut dia, Indonesia cukup mampu mengatasi hal ini karena pemerintah sudah membuat rambu-rambunya. Dan ia tidak lupa memberi kredit poin kepada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dimana dirinya menjadi salah satu pengambil kebijakan ekonomi.

 "Sebenarnya tingkat utang yang mapan bukan hanya diukur antara rasio utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Tetapi rasio utang dengan pendapatan pemerintah. Itu sebabnya, ketika saya menjadi Menko, kita melakukan dua hal. Pertama, menentukan bahwa rasio utang tidak boleh melewati 60 persen dari PDB. Kedua, defisit APBN tidak boleh lebih dari 3 persen PDB. Ini kita minta dimasukkan ke dalam UU karena kita melihat untuk mengendalikan gejolak ekonomi tidak cukup hanya dengan kebijakan moneter, tetapi juga kebijakan fiskal," lanjut dia.

Dorodjatun meminta agar pemerintah saat ini memberi perhatian yang lebih serius kepada kebijakan fiskal. Ia menggaris bawahi bahwa peringkat investasi Indonesia saat ini memang sudah baik, dengan predikat investment grade dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings dan Moody's. Tinggal menunggu Standard & Poor's memberikan predikat yang sama.

"Dan Indonesia mendapatkan itu melalui tiga hal sekaligus, reformasi, demokratisasi dan desentralisasi. Kalau di negara lain, hal itu dilakukan bertahap, tetapi kita serentak. Hebat juga kita. Indonesia ternyata bukan negara gagal, bukan failed state," tutur dia.

Mengingat hal yang sudah dicapai itu dan waktu yang panjang untuk mendapatkannya, Dorodjatun berharap agar pemerintah Jokowi serius memperhatikan kebijakan ekonomi, khususnya fiskal. "Jadi kalau saya berharap sekali supaya fiskal kita diperhatikan serius. Kalau bermain-main di moneter saja, pasti akan kesulitan," imbuh dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home