Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 15:52 WIB | Rabu, 15 April 2020

Menyucikan Ruang Publik Kita

Orang-orang di Shibuya, Tokyo, Jepang. (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM-Pandemi COVID-19 memberi kejutan tentang kesadaran kita akan eksistensi ruang publik. Sekarang kita sedang menyaksikan bahwa ruang publik (dan pertemuan publik) telah menjadi tempat yang menakutkan dan berbahaya. Ruang publik (dicurigai) menjadi tempat orang yang membawa virus corona baru dan menftransfer ke orang lain, ketakutan terbesar pada pembawa yang asimtomatik. Penyakit ini mengancam siapapun, dan akan fatal pada mereka rentan.

Ruang dan pertemuan publik ini ada di pasar dan pusat belanja, kantor dan bengkel kerja, terminal dan transportasi umum, warung, rumah makan, acara pernikahan, dan tempat-tempat lain di mana pertemuan manusia dalam jumlah besar terjadi.

Tempat-tempat itu, yang diisi oleh aktivitas keseharian kita di hampir seluruh muka bumi ini, menjadi tempat menyebarnya virus yang mematikan. Ada kengerian melihat ruang publik kita karena pandemi ini. Bahkan rumah ibadah yang dipandang sebagai “suci”, juga menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan akan penyebaran penyakit ini, sehingga layanan ibadah dihentikan sementara dan digantikan dengan layanan online.

Pandangan tentang ruang dan pertemuan publik berbalik nyaris seketika. Pemerintah di berbagai negara segera memberlakukan pembatasan gerak, menutup wilayah dan kota, membatasi perjalanan, memberlakukan jam malam, bahkan mengkarantina orang. Semua dilakukan dengan ketat, bahkan dengan ancama hukuman bagi pelanggar.

Kangen pada Ruang Publik

Setelah beberapa hari atau pekan terkurung di rumah, dengan aktivitas yang terbatas, mulai muncul suara tentang kejenuhan, keprihatinan, kepiluan dan tragedi yang dialami. Hal ini terjadi karena secara mendadak kita harus mengubah kebiasaan, termasuk belajar dan bekerja di rumah, dan ruang gerak menyempit.

Kesedihan makin terasa terutama pada mereka yang harus kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan. Tinggal di “rumah sendiri” selama beberapa pekan ini tidak sama artinya ketika kita mengatakan “rumahku adalah istana.” Bahkan PBB melaporkan banyak perempuan yang merasakan rumah sebagai “neraka,” karena meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.

Keluhan kita itu menandai bahwa kita semua mengharapkan pembatasan ini segera berakhir, meskipun itu berarti bawa pandemi juga harus berakhir. Dan akhir pandemi ini sangat bergantung pada bagaimana kita menahan diri dalam relasi (social distancing) untuk memutus rantai penularan virus, dan melenyapkan virus corona baru.

Situasi ini menyadarkan bahwa kita benar-benar “kangen” dengan ruang dan pertemuan publik. Itu adalah “harta berharga” yang hilang selama pandemi ini, dan kita berharap itu bisa kita peroleh kembali. Namun demikian kita juga disadarkan bahwa kita kehilangan ruang dan pertemuan publik itu karena kita telah mengotori dengan “penyakit”.

Mengoroti Ruang Publik

Dalam situasi sekarang kita mengotori ruang dan pertemuan publik dengan COVID 19, sengaja atau tidak. Dan kita juga perlu membuat refleksi bahwa selama ini kita tidak memelihara “kebersihan” ruang dan pertemuan publik yang kita miliki, baik itu secara fisik, maupun dalam pengertian yang luas, seperti ruang publik virtual, dan juga peraturan dan kebijakan publik sebagai ruang publik kita.

Kita menyaksikan di antara kita ada yang mengotori ruang dan pertemuan publik kita dengan “penyakit,” yang secara fisik kita lihat dengan racun pencemaran, sampah, kotoran di air sungai, polutan di udara, perusakan dan pencurian fasilitas dan harta publik.

Kita juga menyaksikan ruang dan pertemuan publik dicemari oleh penyakit sosial dan mental seperti diskriminasi, ujaran kebencian, intoleransi, pelecehan, dan perampasan hak asasi, dan ketidak-adilan.

Kali ini kita resah dan khawatir karena ruang publik kita “mungkin” dikotori oleh penyakit oleh COVID-19 yang bisa merenggut jiwa. Tetapi mungkin kita harus melihat bahwa mengoroti ruang dan pertemuan publik dengan “penyakit yang lain” telah memakan korban yang jauh besar, dan masa pandemi yang jauh lebih panjang. Bukankah kita dampak COVID-19 terbesar adalah pada masalah sosial dan ekonomi, dan ini adalah akibat ruang dan pertemuan publik belum bersih dari pencemaran oleh penyakit sosial dan mental.

Menyucikan Ruang Publik

Pandemi secara global dalam skala yang baru pertama dialami dunia ini harus menjadi gerakan untuk menyucikan ruang dan pertemuan publik dengan kesadaran dan penghormatan oleh setiap individu untuk tidak mengotorinya dengan apapun yang bersifat penyakit.

Dalam situasi yang mendesak ini yang harus dilakukan adalah memastikan kebersihan ruang publik secara fisik untuk menghentikan penyebaran virus corona baru, sehingga aturan pembatasan segera bisa diakhiri. Dan di sisi lainnya adalah menyucikan ruang publik virtual dari informasi yang menyesatkan, salah, dan menakut-nakuti, dan informasi tanpa dasar fakta dan data terkonfirmasi.

Upaya itu bisa jadi hanya bersifat sementara dan parsial dalam menghadapi kesehatan. Sebab, tanpa perubahan kesadaran dan perilaku, kita juga akan menghadapi pandemi yang lain di mada depan. Dan itu kemungkinan dengan penyebaran dan fatalitas yang lebih kuat, karena koneksitas yang makin tinggi di antara umat manusia.

Pada akhirnya, kita perlu membersihkan, menyucikan, dan memberi penghormatan pada ruang dan pertemuan publik kita dengan segala “penyakit.” Jalan menuju itu adalah menghormati martabat manusia dalam kesetaraan. “Golden rule” yang harus diwujudkan adalah ketika kita di ruang publik dan pertemuan publik “kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain memperlakukan kita.”

Upaya ini yang akan membuat ruang dan pertemuan publik yang kita miliki menjadi rahmat bagi semua, dan bukan ruang yang menakutkan, karena ada yang membawa dan menularkan “penyakit” di tengah kehidupan.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home