Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 12:38 WIB | Jumat, 10 Oktober 2014

MUI: Merokok Rampas Hak Gizi dan Pendidikan Anak

MUI: Merokok Rampas Hak Gizi dan Pendidikan Anak
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, sekaligus Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr HM Asrorun Niam Sholeh MA. (Foto-foto: Kartika Virgianti)
MUI: Merokok Rampas Hak Gizi dan Pendidikan Anak
Dewan Penasihat Komnas PT dan Ketua Tobacco Control Support Center, Dr Kartono Mohamad (kiri), dan Ketua Bidang Advokasi Komnas Pengendalian Tembakau, dr Hakim Sorimuda Pohan (kanan).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Komisi Fatwa MUI, sekaligus Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr HM Asrorun Niam Sholeh MA, mengatakan aktivitas merokok berbahaya bukan hanya bagi perokok dan orang-orang di sekitarnya, tetapi juga untuk keluarga bahkan anak-anaknya. Perokok lebih mengutamakan membeli rokok daripada membeli makanan yang bergizi untuk anak-anaknya ataupun keperluan pendidikan anak.

Dalam kesempatan jumpa pers bertema "Rakyat Indonesia Dukung Presiden RI Menandatangani FCTC" di kantor Pengurus IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/10), Niam menjelaskan pada 2009 di Pesantren Padang Panjang, berkumpul hampir seribu ulama dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Forum Ijtima Komisi Fatwa se-Indonesia yang ke-3, yang salah satu hasil kesepakatan adalah aktivitas merokok itu terlarang.

Forum ulama menegaskan aktivitas merokok di area publik itu haram. Mereka melihat dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi, karena orang yang tidak merokok harus menanggung dosa sosial dan kesehatan. Menjadi perokok pasif akibatnya jauh lebih berbahaya daripada perokok aktif.

Akibat merokok pasif itu akan jauh lebih berbahaya pada anak-anak. Rokok dalam perspektif anak tidak bisa dilepaskan dari perspektif keagamaan, karena dapat berakibat pada kerusakan permanen secara fisik pada pembuluh darah anak, yang kemudian menghambat tumbuh kembang anak. Secara sosial pun mengganggu pemenuhan hak anak dalam mendapatkan gizi yang baik, kesehatan, dan pendidikan.

Maka, dalam perspektif hukum Islam, merokok itu diterjemahkan sebagai haram, terutama pada tiga kondisi seperti disebutkan, yaitu merokok di area publik, merokok bagi perempuan, dan anak-anak.

MUI adalah wadah berhimpun ulama dan cendekiawan muslim yang di dalamnya ada unsur cendekiawan, pemimpin pondok pesantren, termasuk di dalamnya ormas Islam yang lebih besar dari MUI, yaitu NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya. Bahkan NU dan Muhammadiyah pun telah sepakat memutuskan rokok itu terlarang. Tindak lanjutnya atas hasil keputusan ini adalah sebagai pedoman moral dan keagamaan, untuk menyusun regulasi atau kebijakan pemerintah, seperti UU Kesehatan, dan perda antirokok, yang kemudian dibuatkannya KTR (kawasan tanpa rokok).

Terkait dengan perokok yang juga menuntut haknya merokok, Niam justru mempertanyakan mana yang lebih didahulukan antara hak untuk sehat dan hak untuk bebas melakukan apa saja?

“Hak itu bukan tidak terbatas. Setiap individu punya hak untuk dirinya sendiri, tetapi ketika misalnya orang itu mengkonsumsi narkoba, sekalipun membelinya pakai uang sendiri, tidak benar jika dibiarkan begitu saja dengan alasan itu haknya, justru ketika kita mencegah, itu untuk memenuhi hak hidupnya dia,” Niam menjelaskan.

70 Persen Orang Miskin Perokok

Gagasan yang sama juga disampaikan Dewan Penasihat Komnas PT dan Ketua Tobacco Control Support Center, Dr Kartono Mohamad. Ia mengatakan Indonesia negara dengan cukup banyak pecandu rokok. Berdasarkan data statistik dari BPS, 70 persen orang miskin di Indonesia perokok.

Dampak dari kebiasaan merokok yang lebih buruk terjadi pada keluarga dan anak-anaknya, ketimbang si perokok sendiri, karena bisa mengakibatkan pendidikan dan gizi anak terganggu.

“Merokok itu merampas hak anak untuk mendapatkan gizi yang baik dan biaya pemeliharaan kesehatan, bahkan untuk keperluan pendidikan anak, ini yang tidak disadari oleh perokok terutama dari kalangan miskin, karena mereka terus dirayu membelanjakan uang yang sedikit itu untuk merokok,” Kartono menjelaskan.

Sementara berdasarkan kesimpulan hasil penelitian nasional dan akademisi, dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia perokok.

Lebih jauh Kartono menjelaskan, pengusaha rokok menjadi tambah kaya, ketika orang miskin yang merokok akan semakin miskin, terlebih dari kecil pertumbuhan fisik dan otak perokok maupun anak-anaknya sudah terganggu asap rokok.

“Industri rokok dengan sengaja ingin menghancurkan generasi bangsa, tetapi kenapa dibiarkan pemerintah? Ini yang menjadi pertanyaan kita, pemerintah lebih berpihak pada kaum kapitalis (pemilik modal) daripada rakyatnya sendiri,” dia menyesalkan.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home