Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 07:47 WIB | Sabtu, 19 Februari 2022

Nyadran di Temanggung, Cara Warga Memelihara Kerukunan dan Toleransi

Acara tradisi ini diselenggarakan bersama warga di dua dusun yang mayoritas warganya Muslim dan Buddha, namun mereka mengakui sebagai keturunan leluhur yang sama.
Nyadran di Temanggung, Cara Warga Memelihara Kerukunan dan Toleransi
Acara Nyadran Perdamaian di Dusun Gletuk dan Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (11/2). (Foto-foto: BuddhaZine via kemenag.go.id)
Nyadran di Temanggung, Cara Warga Memelihara Kerukunan dan Toleransi

TEMANGGUNG, SATUHARAPAN.COM- Acara “Nyadran” digelar oleh dua dusun di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Satu di Dusun Krecek yang mayoritas warganya beragama Buddha, dan satu lagi Dusun Gletuk yang mayoritas warganya Muslim.

Acara yang  berlangsung pada 11 Februari itu adalah“Nyadran” yang rutin diselenggarakan setiap tahun di sana, dalam empat tahun terakhir acara itu diberi tajuk “Nyadran Perdamaian.”

Selain warga dusun Krecek dan Gletuk, hadir juga Suhu Xue Hua, Pembina Fo Institut Dong Zen Indonesia (IDZI), Penyelenggara Buddha Kabupaten Temanggung, Kepala Desa Getas, Dwi Yanto, serta Kepala Dusun Krecek, Sukoyo dan Kepala Dusun Gletuk, Dahono. Ikut bergabung, sekitar 15 orang peserta Live In Nyadran Perdamaian 2022 yang mengangkat tema "Menjaga Tradisi Lintas Generasi".

Nyadran di Desa Getas, khususnya Dusun Krecek dan Gletuk, dilaksanakan pada Jumat Pon pada bulan Rajab atau Sya’ban. Sejak 2019, tradisi ini dikemas dalam rangkaian kegiatan “Nyadran Perdamaian” sebagai upaya merawat dan menularkannya kepada generasi muda.

Dalam acara Nyadran, ada sejumlah perlengkapan yang harus disiapkan, bahan yang akan dibawa dan serangkaian kegiatan yang mendahuluinya, termasuk membersihkan lingkungan dan makam leluhur. Kegiatan ini bermakna membangun sikap gotong rotong.

“Inilah dusun di desa kami yang selalu menggaungkan toleransi. Ini simbol bahwa desa kami adalah desa yang toleran,” Kata Lurah Getas, Dwi Yanto. Dusun Krecek dan Dusun Gletuk berlokasi pada kawasan ketinggian sekitar 900 mmeter di atas permukaan laut.

Mewakili Kementerian Agama, Penyelenggara Buddha Kankemenag Kab Temanggung, Suwardi, berharap Nyadran Perdamaian ini lestari dan terus membangun suasana warga yang lebih akrab, toleran, sekaligus merawat budaya dan kearifan lokal. “Dengan kearifan lokal yang ada, masyarakat yang berbeda-beda tetap rukun dan toleran,” katanya.

Apa itu Nyadran?

Ketua STAB Syailendra, Kopeng, Suranto, telah meneliti tradisi ini sejak 2012 dan ditulis menjadi karya disertasinya dengan tajuk “Kearifan Lokal sebagai Sumber Narasi Multikulturalisme” Dia mengatakan, sadranan merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Kecamatan Kaloran dan sejumlah daerah lainnya.

Selain Temanggung, di daerah Semarang tradisi sejenis juga dikenal, namun dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya dengan Safaran (atau Saparan), Ruwahan, dan Rejeban. Untuk di Kaloran, istilah yang digunakan adalah Sadranan.

Sadranan berasal dari kata Sradha, artinya yakin, bakti terhadap leluhur. Sadranan tidak serta merta hanya berupa aktivitas berziarah ke makam sambil membawa makanan. Dalam prosesnya, Sadran mempunyai sejumlah persiapan, misalnya besreh, yaitu, membersihkan makam, jalan, sumber air, atau sesuatu yang disakralkan dan memiliki arti dan nilai penting bagi keberlangsungan kehidupan di lingkungan masyarakat.

“Semua tidak terlepas dari mitos sehingga tradisi masih jalan. Tanpa mitos yang menjadi kekuatan masyarakat, tradisi tidak akan lestari,” kata Suranto.

Bagi masyarakat Getas, Nyadran merupakan bentuk tradisi penghormatan kepada leluhur. Mereka menyebutnya sebagai Eyang Krecek. Dia adalah leluhur yang menjadi sosok dihormati di daerah Krecek dan Gletuk. Di kawasan ini, ada ikatan batin yang secara spiritual diyakini masyarakat.

“Jadi masyarakat mempunyai kosmologi kecil di daerahnya, yaitu ikatan dengan leluhur. Cara menghormati leluhur itu dengan Nyadran,” kata Suranto.

“Karenanya, dalam prosesnya ada bebersih, pasang sajen, puja, dan ritual yang dilakukan masyarakat. Itu berjalan atas kesadaran bersama. Saat tiba waktu Jumat Pon, masyarakat sudah mempersiapkan diri. Kesadaran masyarakat yang seperti ini mendorong mereka untuk memberikan penghormatan pada leluhur,” katanya.

Arti Spiritual, Sosial dan Lingkungan

Suranto melihat bahwa ada tiga makna dalam tradisi Sadran, yaitu: spiritual, sosial, dan lingkungan atau ekologi. Secara spiritual, Nyadran menjadikan relasi bersama antara manusia dengan leluhur tetap jalan dalam ikatan kuat.

Secara sosial, Nyadran menguatkan budaya gotong royong, membangun jejaring bersama, dan juga toleransi. “Saat sadranan, semua kumpul bareng lintas agama, berbaris berdampingan melepaskan identitas agama. Semua merasa menjadi bagian dari keturunan leluhur. Mereka bisa berbagi makanan tanpa memandang identitas,” katanya.

Masyarakat Getas bisa menjadikan makam atau kuburan sebagai tempat pertemuan. Di wilayah ini, tempat apapun bisa menjadi ruang publik untuk berbagi kebaikan dan membangun ikatan emosional. “Jadi secara sosial, Nyadran telah membangun ruang publik dan ruang bersama, di ladang, kuburan, dan banyak tempat untuk bisa menjadi tempat diskusi. Bahkan, kuburan menjadi tempat kebajikan,” katanya.

Suranto mengingatkan kepada warga bangsa bahwa kita semua adalah pelaku toleransi, multikulturalisme, dan perdamaian. Praktik, semangat, dan nilai itu dilestarikan oleh kearifan lokal masyarakat. Dan, fenomena ini dipotret oleh akademisi barat. “Kalau bangsa Indonesia tidak rukun, seharusnya malu. Sebab, kita adalah pelaku dalam membangun perdamaian, salah satunya melalui kearifan lokal,” pesan Suranto.

Sebelum prosesi Sadranan, masyarakat secara bersama-sama melakukan besreh, bersih makam, jalan, maesan, batu nisan dan lainnya; semua dibersihkan. Besreh tidak hanya dilakukan di kuburan, tapi sungai, sumber mata air, tempat sakral, dan lainnya. Setelah besreh, Nyadran ditutup dengan makan bersama di makam leluhur.

Sebelum menikmati kenduri yang telah disiapkan, Nyadran ditutup dengan memanjatkan doa secara bergantian, dari pihak Muslim dan Tokoh Buddha.

Kepala Dusun Krecek, Mbah Sukoyo, mengatakan tentang kenduri adalah sarana masyarakat untuk berbagi. Dalam kenduri disajikan nasi yang dibentuk kerucut, tumpeng, ada ingkung, yaitu masakan ayam ayam serta lauk pauk berupa sayuran, telur, ikan, dan lainnya. Ini akan dimakan bersama-sama. (Sumber: situs Kemenag)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home