Loading...
RELIGI
Penulis: Eben Ezer Siadari 21:00 WIB | Rabu, 19 November 2014

Orang Kristen, Muslim, Yahudi, Bersatu di Kebun Kopi

Pemimpin Koperasi Perdamaian yang Nikmat yang merupakan perwakilan dari tiap agama, (dari kiri): Elias Hasulube (Muslim), Samuel Ngugo (Kristen) dan J.J Keki (Yahudi) (Melanie Lidman/Times of Israel)

MBALE, UGANDA, SATUHARAPAN.COM –  Hubungan yang tadinya jauh dan berjarak antara orang Kristen, Islam dan Yahudi, ternyata dapat diakrabkan lewat usaha koperasi pemasaran kopi.  

Daripada gontok-gontokan, mereka memilih bekerja bersama-sama dalam kegiatan produktif dan bahkan bisa dikategorikan sekuler. Hasilnya, bukan saja mereka menikmati pertumbuhan dan peningkatan pemasaran kopi hasil kebun masing-masing. Mereka juga dapat mencegah berkembangnya fanatisme dan paham ekstrim di daerah dimana mereka tinggal. Lebih jauh, anak-anak mereka pun  dapat tumbuh di lingkungan yang lebih toleran.

Inilah yang terjadi di Mbale, sebuah kota di Uganda berpenduduk mayoritas Muslim. Tidak kurang dari 2000 petani kopi berlatar belakang tiga agama berbeda di kota itu, bergandengan tangan membentuk usaha bersama untuk memajukan pertanian mereka.

Sebagaimana dilaporkan oleh Melanie Lidman untuk Times of Israel, koperasi kopi yang unik ini diberi nama Mirembe Kawomere. Dalam bahasa setempat (bahasa Luganda), artinya adalah Perdamaian yang Nikmat. Berdiri dengan anggota awal 250 orang, kini sudah mencapai 2000 anggota. Koperasi ini  telah menjadi pembicaraan di sejumlah forum dan dijadikan teladan tentang bagaimana membangun hubungan lintas iman secara produktif.

Diinspirasi Tragedi 11 September

Menurut J.J Keki, inspirasi berdirinya koperasi Perdamaian yang Nikmat muncul ketika ia berada di New York.  Sebagai pemimpin komunitas Yahudi Mbela, Keki berada di New York ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center. Kejadian itu memberikan kesadaran baru baginya. “Itu merupakan kekerasan yang dimotivasi agama, dan saya berkata dalam hati, hal itu bisa terjadi juga di Uganda. Kami mesti melakukan sesuatu,” kisah Keki.

Di Uganda, kaum Yahudi adalah penduduk minoritas, jumlahnya sekitar 2000 jiwa. Mayoritas penduduk negeri ini (80 persen)  beragama Kristen dan 12 persen Muslim. Di Mbela sendiri mayoritas penduduk beragama Islam.

Hubungan antara pemeluk ketiga agama di Mbela selama ini dapat dikatakan tidak mengalami persoalan, meskipun tidak akrab juga. Di masa lalu memang ada  beberapa permusuhan yang berasal dari masa kediktatoran Idi Amin yang brutal (1971-1979). Di masa itu, Idi Amin melarang Yudaisme dan membunuh sejumlah uskup. Selain itu, orang-orang Yahudi dan Muslim telah pula berselisih mengenai kepemilikan tanah karena beberapa sinagog  diubah menjadi  mesjid dan gereja. Tetapi melalui proses pengadilan, tanah tersebut dikembalikan kepada komunitas Yahudi.

Meskipun hubungan ketiga agama dapat dikatakan mulus, Keki tidak menafikan kemungkinan terjadinya kekerasan yang dimotivasi agama, seperti hal yang meruntuhkan menara kembar di New York.  Uganda selalu merasa terancam oleh kemungkinan kekerasan yang datang dari kaum Muslim ekstrim. Kelompok teroris Somalia berbasis al-Shahab, berkali-kali menyerang Kenya dan Uganda khawatir hal itu akan menyebar ke negaranya.

Itu sebabnya, terbentuknya koperasi ini bagi Keki merupakan salah satu cara untuk mencegah masuknya orang-orang berpaham fanatik, dengan menciptakan hubungan kerjasama yang erat antar penganut agama yang berbeda.

Tumbuh Bersama

Ide untuk mendirikan koperasi muncul dari diskusi Keki dengan adiknya, Gershom Sizomu, ulama  komunitas Yahudi di Mbela dan Laura Wetzler, koordinator sebuah lembaga nirlaba Yahudi di kota yang sama. Mereka ingin menciptakan sebuah peluang ekonomi ke wilayah mereka.

Perekonomian Uganda sangat tergantung pada pertanian. Sebanyak 82 persen tenaga kerja berada di sektor itu. Sebagian besar penduduk Mbela adalah petani subsisten, yang hasil lahannya hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Di era 1990-an banyak diantara mereka meninggalkan pertanian kopi karena harganya jatuh.

Masalah yang paling sering dihadapi petani kopi di Uganda ialah pemasaran, apalagi yang tinggal di daerah terisolisasi. Mereka tidak memiliki kekuatan bernegosiasi dengan tengkulak bila menawarkan hasil kebunnya sendiri-sendiri. Itu sebabnya, dengan bersama-sama menjualnya melalui koperasi yang mereka bentuk, mereka memiliki daya tawar yang lebih kuat.

Dalam perjalanannya –setelah berkali-kali gagal – koperasi yang mereka dirikan menemukan perusahaan yang bersedia menampung produk mereka dengan jaminan harga yang baik.  Mereka terhubung dengan Paul Katzeff dari perusahaan Thanksgiving Coffee, seorang Yahudi yang tertarik dengan koperasi ini. Katzeff terbang ke Uganda membantu memberikan pelatihan bagaimana berkebun kopi untuk mendapatkan sertifikasi organik.

Gagasan mendirikan koperasi ini disambut dengan cukup antusias oleh para petani kopi. “(Selama ini) Kami punya kopi tetapi tidak punya pasar,” kata Elias Hasulube, seorang Muslim yang bekerja sebagai manajer lapangan pengawas kualitas.

Pada tahun 2005, koperasi ini memperoleh sertifikat Fair Trade, setahun setelah berdiri. Dengan keberhasilan ini berarti petani mendapat jaminan harga dasar, yang bermanfaat mengamankan mereka dari gejolak harga.

“Sejak kami membentuk koperasi, kerjasama antarumat beragama telah terjalin,” kata Samuekl Ngugo, seorang Protestan yang menjadi bendahara koperasi sejak berdiri. Walaupun penduduk Mbela mayoritas Muslim,  dewan pengurus koperasi diisi oleh perwakilan dari masing-masing agama. Setiap dua bulan sekali, koperasi menyelenggarakan pelatihan cara-cara meningkatkan produksi.

Kelompok Musik Lintas Iman

Selain meningkatkan produksi kopi, kerjasama umat beragama melalui koperasi ini juga melahirkan prakarsa untuk mendirikan kelompok musik lintas iman.  Mereka mengadaptasi lagu-lagu lokal yang berkaitan dengan kopi. Prakarsa ini telah mendapat apresiasi dari Rabi Jeffrey Summit dari  Tufts University, AS. Ia merekam lagu-lagu tersebut dan memuatnya dalam sebuah album musik yang diberi nama: Delicious Peace: Coffee Music & Interfaith Harmony in Uganda

Ke depan, Pemimpin koperasi Perdamaian yang Nikmat ini tak puas hanya mengekspor kopi. Mereka juga ingin mengekspor pesan mereka ke seluruh dunia. “Siapa pun yang mendengarnya, kisah kami berkata, untuk apa kita berkelahi?, ”kata Hasulube. “Semakin banyak pelanggan yang membaca cerita kami atau membeli produk kami, mereka akan menerima pesan kami,” tutur dia.

“Kisah kopi kami adalah kisah indah yang ingin ditiru oleh masyarakat seperti Israel dan Palestina. Kopi kami bercerita kepada dunia bahwa seandainya pun Anda memiliki perbedaan agama atau budaya, Anda masih tetap bisa berteman.”


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home