Loading...
RELIGI
Penulis: Eben Ezer Siadari 08:19 WIB | Selasa, 21 Oktober 2014

Nusron Wahid: Jangan Ukur Ahok dari Agamanya

Pengurus Pura Agung Wira Satya Buana Wayan Wiradmaja (kiri), Ketua GP Ansor Nusron Wahid (kedua kiri), Koordinator Doa dan Zikir Nasional Zuhairi Misrawi (tengah), Ketua Pusat Informasi KWI Romo Beny Susetyo, dan Pengurus Dewan Masjid Indonesia Herry Sucipto, mengangkat tangan sebagai simbol persatuan lintas agama di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (17/10). Mereka dari masyarakat lintas agama berkumpul saat akan menggelar doa bersama pada Minggu (19/10) guna menyambut pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sudah sepekan berlalu, tetapi pernyataan Nusron Wahid yang menekankan bahwa siapa pun harus tunduk kepada konstitusi dan Indonesia tidak mengenal dominasi mayoritas maupun tirani minoritas, masih terus bergaung menjadi perdebatan di media sosial.

Pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One 14 Oktober lalu, Ketua Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) ini sangat tegas menyatakan bahwa di atas hukum agama ada konstitusi yang harus ditaati seluruh warga negara. Tentang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ia menegaskan agar tidak mengukur dia dari agama yang dianutnya melainkan dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan rakyat DKI Jakarta.

 "Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia," kata dia. "Teman-teman dari FPI mengatakan 'kita ini punya tiga hukum, konstitusi (hukum negara), hukum agama dan hukum adat'. Diatas hukum agama dan hukum adat itu ada konstitusi. Ketika kita ini bernegara, maka kita ini acuannya adalah konstitusi," tandas politisi Partai Golkar, yang dipecat karena mendukung Joko Widodo.

Nusron mengeritik pihak-pihak yang menggunakan alasan agama untuk menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta. "Kalau memang ada masalah-masalah terhadap individu Ahok, yang perlu dibuktikan  adalah nalar konstitusionalitasnya, bukan pada nalar suka atau tidak suka," kata Nusron, yang pada Pileg 2014 meraih suara terbanyak (243.021 ) diantara caleg dari partainya.

"Saya kira orang seperti Ahok senang berdebat, bukan antidebat. Tadi dikatakan mulutnya cablak, orang cablak pasti dia suka debat, suka dikritik, iya kan?! Karena itu yang kita tekankan adalah apa yang dilanggar dalam undang-undang dasar oleh Ahok. Itu harus dibuktikan secara konstitusional. Perkara dia kemudian ditetapkan oleh konstitusi menjadi Gubernur atau tidak menjadi Gubernur, itu urusan konstitusi, tugas konstitusional, bukan tugas suka atau tidak suka. Kalau kita ingin menerima karena alasan agama nggak mau dipimpin, karena mayoritas umat Islam nggak mau dipimpin orang minoritas dan sebagainya, pada satu sisi kita melihatnya 'ini Indonesia'. Di Indonesia tidak mengenal dominasi mayoritas maupun tirani minoritas," ucap dia.

Tidak ayal, pernyataan Nusron yang tegas ini memicu perdebatan di media sosial. "Pernyataan Nusron Wahid tentang keindonesiaan dan keislaman kini menjadi salah satu bahan perdebatan di medsos," kata Pengamat Politik, A.S. Hikam lewat akun facebook-nya.

"Bagi pihak yang tidak menggunakan perspektif konstitusionalisme, mungkin statemen Nusron Wahid dianggap membentang supremasi agama (Islam) dalam kehidupan umatnya. Namun bagi pemahaman Gusdurian, kekaffahan Islam adalah pada tataran teologis bukan pada tataran praksis politik. Islam, tidak memaksakan hanya satu sistem kenegaraan seperti misalnya Negara Islam atau Khilafah Islam," lanjut doktor ilmu politik dari Universitas Hawai'i ini.

A.S. Hikam yang pernah menjadi Menristek di era Gus Dur, mengatakan pendirian Nusron tersebut merupakan ajaran Gus Dur yang sejak dulu sudah ada  "Itu sudah sering dikemukakan Almaghfurlah Gus Dur dulu. Beliau memiliki pandangan keislaman adalah komplementer terhadap keindonesiaan jika dilihat dari konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah konsekuensi logis dari penerimaan terhadap Konsitusi NRI 1945 dan prinsip NKRI sebagai bentuk final dari sistem bernegara," kata dia.

Metta Dharmasaputra, direktur eksekutif lembaga penelitian KATADATA, memuji pendirian Nusron yang berani. "Di antara seluruh politisi yang ada, rasanya Nusron Wahid saat ini merupakan salah satu yang paling maju pemikiran dan sikapnya. Muda, progresif dan berani. Jika dia konsisten, bukan tidak mungkin dialah "Gus Dur" baru di masa depan," kata Metta.

Di bagian lain pernyataannya, Nusron Wahid mengajukan contoh di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang penduduknya mayoritas beragama Kristen namun ketua DPRD-nya beragama Islam.

"Di NTT, ketua DPRD-nya muslim, saya kenal baik karena orang Golkar. Harusnya Romo Beni protes bagaimana mayoritas umat Katolik dipimpin oleh ketua DPRD-nya muslim, tetapi karena di Indonesia ini berdasarkan konstitusinya adalah Pancasila dan UUD'45, kita melihatnya adalah meritokrasi, siapapun di Indonesia ini sepanjang dia itu mumpuni, dia itu mampu melaksanakan tugas-tugasnya, sepanjang dipilih oleh rakyat."

Di akhir pernyataannya, Nusron  mengisyaratkan perlunya Basuki berhati-hati dalam memimpin Jakarta. Menurut dia, kalau Basuki Tjahaja Purnama melarang perayaan Maulid Nabi, hal itu perlu diluruskan. "Kalau perayaan Maulid Nabi  dilarang oleh Ahok, kita sama-sama datang, Ahok salah itu...Ahok pun harus kita tegur, karena itu adalah ritus-ritus amaliyah yang baik, kenapa dilarang?!. dan itu dilindungi oleh undang-undang."

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home