Loading...
INSPIRASI
Penulis: Tjhia Yen Nie 13:10 WIB | Kamis, 11 Mei 2017

Otak dan Hati

Manusia pada hakikatnya hanyalah debu.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Beberapa saat setelah hakim memutuskan vonis penjara dua tahun kepada Ahok, media sosial penuh dengan komentar dari kedua belah pihak. Dan ternyata kesedihan melarat hati saya, padahal ia bukan gubernur saya.  Lalu mengapa saya bersedih? Apakah karena sama warna kulitnya?

Beberapa akun media sosial mengatakan dengan sarkastis ketika Ahok mengatakan bahwa dirinya menjunjung kebinekaan.  Bagaimana mengatakan bineka, jika istri, mertua, teman, bahkan pemilihnya adalah…. Tidak itu saja, seorang teman membagikan postingan yang menyindir teman-teman lainnya yang bersedih,  dengan menganalogikan bahwa keluarga perampok juga akan membela perampok, dan menganggap perampok itu berjasa, bahkan pahlawan.

Kedua ide itu menggugah hati saya.  Apakah benar seperti itu?

Saya memikirkan beberapa tokoh lain, yang bermata sipit, selain Ahok.  Ada yang mencalonkan diri menjadi pejabat pemerintah, ada juga yang super kaya dan rajin menyumbang gereja.   Mengapa saya tidak berkesan terhadap mereka seperti saat ini?  Dan ternyata yang sipit pun ada yang menabuhkan genderang ketidaksukaanya kepada Ahok.  Jadi pendapat kedua akun itu jelas tidak benar.

Ternyata hati saya tersentuh dengan sepak terjang Ahok bukan karena kesamaan warna kulit atau agamanya.

Sebuah postingan sinis masuk melalui gawai saya, ”Dear sons… sekolah yang tinggi, sekolah yang jauh.  Jangan kembali lagi.  Di sini otak dan hati hanya laku di restoran Padang.”

Saya tersenyum miris membacanya.  Di kala Ahok menunjukkan minoritas yang selama ini dianggap oportunis, menggunting pemerintahan Jakarta dari benang-benang korupsi yang menggurita dan membawa kemajuan DKI Jakarta, divonis dua tahun penjara karena kesalahannya dalam berkata-kata. Tetapi orang-orang yang membakar gereja, mengorupsi uang negara, menyebarkan ideologi memecah bangsa dibiarkan melenggang atas nama mayoritas.   Mungkin ada beberapa orang yang pesimis dengan hati nurani bangsa yang mengatasnamakan asas Pancasila.

Manusia pada hakikatnya hanyalah debu.  Dia tidak dapat memilih lahir sebagai mayoritas atau minoritas dalam sebuah negara.  Jika pena diciptakan untuk menulis.  Jadikanlah dia untuk menulis.  Demikian juga manusia, nyatakan fungsi manusia sebagaimana tujuannya diciptakan sebagai citra Allah.  Jangan patah arang terhadap ketidakadilan dunia. Bukankah politik itu tidak beda dengan taktik sarat intrik tanpa titik?  Penghakiman sejatinya hanya diagendakan oleh Sang Hakim Agung.

 ”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Untuk itulah kita semua tidak akan luput dari penghakiman Sang Pencipta.

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home