Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 11:48 WIB | Sabtu, 06 Juli 2013

Pakar Muslim: Rakyat Mesir Memprotes Islamisme dan Kediktatoran Militer

Puluhan juta rakyat Mesir menentang Presiden terguling Mohammed Morsi. (Foto: istimewa)

WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Protes besar yang ditunjukkan oleh 22 juta rakyat Mesir terhadap pemerintahan Mohammed Morsi  yang akhirnya digulingkan oleh militer Rabu (3/7) lalu, dan disusul protes oleh pendukung Morsi dari kelompok Ikhwanul Muslimin, menunjukkan bahwa rakyat Mesir memprotes “islamisme” dan kediktatoran militer.

Hal itu dikatakan oleh pakar muslim, Dr. Zuhdi Jasser seperti yang dikutip christianpos.com, Kamis (4/7). Dia adalah penulis buku A Bettle for the Soul of Islam: An American Muslim Patriot's Fight to Save His Faith. Jasser adalah Presiden American Islamic Forum for Democracy.

Dia mengatakan bahwa orang-orang warga Kristen Koptik, Protestan, Katolik, dan Ortodoks mengalami masa sulit yang digambarkan sebagai lebih terkepung dan lebih menakutkan daripada yang pernah mereka alami selama ini. Dia bercerita tentang kunjungannya Februari lalu ke Mesir. Diceritakan bahwa dia berbicara dengan kelompok-kelompok Kristen marjinal selama kunjungannya itu.

"Mereka memainkan peran penting dalam meningkatkan massa," katanya. "Bagi yang berpikir dirinya memiliki DNA Muslim dan bahwa yang akan dijalankan adalah pemerintahan teokrasi, mereka telah membuktikan  sebaliknya," katanya.

 "Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana berjuta-juta manusia turun ke jalan.” Protes membuktikan bahwa rakyat Mesir, keduanya melawan "Islamisme" dan melawan kediktatoran militer," katanya berkaitan dengan protes yang dilakukan oleh penentang maupun pendukung Morsi

Kudeta Militer atau Bukan?

Sementara itu, Steven S. Bucci, Direktur Pusat Douglas dan Sarah Allison untuk Studi Kebijakan Luar Negeri di Heritage Foundation, Washington,DC, melihat pentingnya komunitas Kristen di Mesir dan Suriah yang oleh Jasser disebutkan mempunyai peranan.

"Saya pikir bahwa nasib masyarakat Kristen di kedua negara adalah dalam situasi yang disepelekan," katanya. "Saya tidak mengatakan mereka lebih penting daripada masyarakat lain, tapi mereka lebih berisiko dibandingkan masyarakat lainnya."

Bucci mencatat bahwa orang-orang Kristen Koptik di Mesir dan Kristen Ortodoks Antiokhia di Suriah telah terbukti menjadi warga negara yang baik selama ratusan tahun. "Saya tidak melihatnya sebagai kudeta militer," jelasnya tentang penggulingan Morsi. "Jika mereka mengubahnya kembali ke pemerintahan sipil dalam waktu yang relatif singkat. Jelas tidak  dalam 10 tahun,  juga bukan setengah minggu . Maka hal itu bisa berubah menjadi hal yang positi," katanya.

Muhdi Jasser juga berpendapat bahwa transisi di Mesir itu "bukan kudeta militer."  Namun Michael Rubin, seorang mantan pejabat Pentagon dan sarjana di American Enterprise Institute, berpendapat lain.

Dia mengakui bahwa jumlah orang yang melakukan protes belum pernah terjadi sebelumnya. "Jika ada 20 juta tanda tangan untuk menurunkan Morsi, hal itu berarti 25 warga negara,"  katanya. Sebaliknya, sejarawan memperkirakan hanya sekitar satu persen orang Amerika yang berjuang dalam Revolusi Amerika, dua persen pada Revolusi Prancis, dua persen ikut perjuangan kaum Bolshevik Russia, dan hanya 10 persen pada revolusi Iran.

Pemerintahan Sipil

Yang terjadi di Mesir adalah persentase yang menakjubkan, dan belum pernah terjadi sebelumnya. Namun demikian, “Itu adalah kudeta militer,” kata dia. Disebutkan bukan kudeta militer, karena kaitannya dengan hukum Amerika Serikat yang tidak akan memberikan bantuan kepada negara yang pemerintahanya dipilih, tetapi ditumbangkan dalam kudeta.

"Kudeta sebenarnya bisa baik bagi demokrasi, terutama terhadap seseorang seperti Morsi yang menggunakan demokrasi untuk masuk ke kekuasaan, tetapi menjalankannya dengan konsep yang meremehkan demokrasi," kata Rubin.

Argumentasi yang diungkapkan Rubin berkaitan dengan Dekrit 22 November yang dikeluarkan Morsi, di mana pemimpin Ikhwanul Muslimin disebutkasn mempunyai kekuasannya sendiri dan menempatkan diri di atas lembaga peradilan, dan konstitusi. Menurut Rubin, hal itu yang memungkinkan pemerintah Ikhwanul Muslimin untuk mendefinisikan dan menegakkan moralitas.

"Mesir berakhir dengan konstitusi yang meminggirkan perempuan dan minoritas," jelas  Muhdi Jasser. Sekarang satu gerakan telah bersatu untuk menggulingkan Morsi.

"Sejak Musim Semi Arab dimulai, cadangan keuangan Mesir telah menghilang, melumpuhkan pemerintah dalam mengatur subsidi pangan dan bahan bakar,” kata dia.

Tentang kelompok minoritas di Mesir, Rubin mengatakan bahwa meskipun mereka mempunyai peran dalam protes, mereka masih tetap takut. “Mereka khawatir tentang pembalasan," kata Rubin mengingatkan. Kelompok-kelompok minoritas khawatir tentang pembalasan dan main hakim sendiri dari pendukung Morsi.

 

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home