Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 13:13 WIB | Selasa, 09 Maret 2021

Paus Fransiskus: Kekerasan Atas Nama Tuhan Adalah Penghujatan Terbesar

Paus Fransiskus berbicara dalam pertemuan dan doa antar agama di situs arkeologi kuno Ur, yang secara tradisional diyakini sebagai tempat kelahiran Abraham, di Ur dekat Nassiriya, Irak pada hari Sabtu (6/3). (Foto-foto: Reuters)

BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM-Paus Fransiskus memasuki gang sempit di kota suci Najaf di Irak untuk mengadakan pertemuan bersejarah dengan ulama tertinggi Syiah di wilayah itu dan mengunjungi tempat kelahiran tokoh Alkitab, Abraham pada hari Sabtu (6/3). Dia mengecam kekerasan atas nama Tuhan sebagai "penghujatan terbesar."

Peristiwa antar agama berturut-turut berjarak sekitar 200 kilometer; satu di kota berdebu dan yang lainnya di dataran gurun, dan itu memperkuat tema utama perjalanan Paus yang berisiko ke Irak, mencerminkan bahwa negara itu telah terlalu menderita.

“Dari tempat ini, di mana iman lahir, dari tanah bapak kita Abraham, marilah kita tegaskan bahwa Tuhan itu penyayang, dan bahwa penghujatan terbesar adalah mencemarkan nama-Nya dengan membenci saudara-saudari kita,” kata Paus Fransiskus di Ur, tempat kelahiran Abraham.

Dengan angin gurun meniup jubah putihnya, Paus Fransiskus, duduk bersama para pemimpin Muslim, Kristen dan Yazidi, berbicara tentang penggalian arkeologi kota berusia 4.000 tahun yang terdiri dari Ziggurat bergaya piramida, kompleks perumahan, kuil, dan istana.

Beberapa jam sebelumnya di Najaf, dia bertemu dengan Ayatollah Ali Al-Sistani, kunjungan yang merupakan sinyal kuat untuk hidup berdampingan di negara yang dilanda kekerasan.

Tampilan umum dari situs arkeologi kuno kota Ur, yang secara tradisional diyakini sebagai tempat kelahiran Abraham, di dekat Nassiriya, Irak.

 

Hari Pengampunan dan Hidup Berdampingan

Perdana Menteri Irak, Mustafa Al-Kadhimi, bahkan mengumumkan pada hari Sabtu, yang menetapkan tanggal 6 Maret sebagai Hari Pengampunan dan Hidup Berdampingan Nasional di Irak.

“Pada kesempatan pertemuan bersejarah antara kutub perdamaian dan toleransi, Yang Mulia, Pemimpin Tertinggi Ali Al-Sistani dan Yang Mulia, Paus Fransiskus, sebagai pertemuan antar agama di kota bersejarah Ur, kami mengumumkan, 6 Maret, setiap tahun diperingati sebagai Hari Pengampunan dan Hidup Berdampingan di Irak," katanya dikutip kantor berita nasional, Ina.

Invasi Amerika Serikat tahun 2003 menjerumuskan Irak ke dalam konflik sektarian selama bertahun-tahun. Keamanan telah meningkat sejak kekalahan ISIS pada tahun 2017, tetapi Irak terus menjadi panggung persaingan global dan regional, terutama persaingan sengit antara AS dan Iran yang terjadi di tanah Irak.

Al-Sistani, 90 tahun, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Islam Syiah, baik di Irak maupun di luar, dan pertemuan mereka adalah yang pertama antara seorang paus dan seorang ulama senior Syiah.

Setelah pertemuan tersebut, Al-Sistani meminta para pemimpin agama dunia yang memegang kekuatan besar  bertanggung jawab untuk kebijaksanaan dan akal sehat agar menang atas perang. Dia menambahkan orang Kristen harus hidup seperti semua orang Irak dalam damai dan hidup berdampingan.

 

Al-Sistani mengatakan, "Kepemimpinan religius dan spiritual harus memainkan peran besar untuk menghentikan tragedi... dan mendesak pihak, terutama kekuatan besar, untuk membuat kebijaksanaan dan akal sehat menang dan menghapus bahasa perang."

Pertemuan mereka berlangsung di rumah sederhana yang disewa Sistani selama beberapa dekade, terletak di dekat tempat suci Imam Ali yang berkubah emas di Najaf. Sebuah foto resmi Vatikan menunjukkan Al-Sistani dengan jubah tradisional Syiah hitam dan sorban duduk di seberang Fransiskus.

Sebuah Pertemuan Iman

Meskipun Abraham dianggap sebagai bapak dari orang Kristen, Muslim dan Yahudi, tidak ada perwakilan Yahudi yang hadir pada acara antar agama di Ur.

Pada tahun 1947, setahun sebelum kelahiran Israel, komunitas Yahudi Irak berjumlah sekitar 150.000. Sekarang jumlah mereka hanya dalam satu angka.

Seorang pejabat Gereja setempat mengatakan orang Yahudi dihubungi dan diundang, tetapi situasi bagi mereka "rumit" terutama karena mereka tidak memiliki komunitas yang terstruktur. Namun, dalam acara serupa di masa lalu di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seorang tokoh senior Yahudi asing telah hadir.

"Permusuhan, ekstremisme, dan kekerasan tidak lahir dari hati yang religius: mereka adalah pengkhianatan terhadap agama," kata Paus di Ur. “Kami orang beriman tidak bisa diam ketika terorisme melanggar agama; memang, kami dipanggil tegas untuk menghalau semua kesalahpahaman,” katanya.

Militan ISIS, yang mencoba mendirikan kekhalifahan yang meliputi beberapa negara, menghancurkan Irak utara pada kurun 2014-2017, menewaskan orang Kristen serta Muslim yang menentang mereka.

Komunitas Kristen Irak, salah satu yang tertua di dunia, sangat terpukul, jumlahnya turun menjadi sekitar 300.000 dari sekitar 1,5 juta sebelum invasi AS dan kekerasan militan ekstremis brutal yang mengikutinya.

Paus, yang memulai kunjungan empat hari ke Irak di Baghdad pada hari Jumat, memimpin Misa pada Sabtu malam di Katedral Kaldea Santo Yusuf di ibu kota. Pada hari Minggu (7/2) ia melakukan perjalanan ke utara, ke Mosul, bekas benteng ISIS, di mana gereja dan bangunan lain di sana masih menyimpan bekas konflik.

Kemenangan Kebajikan

Di Ur, Paus Fransiskus memuji kaum muda Muslim karena membantu umat Kristen memperbaiki gereja mereka "ketika terorisme menyerang bagian utara negara tercinta ini".

Rafah Husein Baher, seorang anggota kelompok agama kecil, Sabean Mandaean, berterima kasih kepada Paus karena telah melakukan perjalanan meskipun ada banyak masalah di negara itu, termasuk lonjakan kasus COVID-19 dan serentetan serangan roket dan bom bunuh diri baru-baru ini.

"Kunjungan Anda berarti kemenangan kebajikan, itu adalah simbol penghargaan kepada orang Irak, Berbahagialah dia yang mencabut rasa takut dari jiwa,” katanya. (Reuters)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home