Loading...
INSPIRASI
Penulis: Nugroho Edy Prasetyo 09:09 WIB | Jumat, 14 Oktober 2016

Pelayanan Belakang Meja

Ada harga yang harus dibayar dalam pekerjaan apa pun.
Di belakang meja (foto: istimewa)

 

SATUHARAPAN.COM – Bos di kantor saya dahulu sangat perlente. Dia penuh gaya, sok wibawa, sok keren, meski kurang didukung managerial skill. Tetapi, yang namanya Si Bos tetap saja orang menghormatinya, maklum jabatan masih melekat. Dan kata orang bijak jabatan itu ibarat naik macan, bikin orang lain keder, namun kalau sudah lengser, sudah enggak ada yang takut. Artinya orang hanya takut sama macannya bukan sama penunggangnya.

Saya waktu itu juga ikut-ikutan sok takut dan sok hormat, supaya dia nggak macam-macam. Tetapi, saya senantiasa bertanya dalam mengapa mesti takut, la wong kerja saja nggak bisa kalau nggak ada staf. Bagaimanapun, otak dan keterampilan kerja ada di tangan para anak buah. Ironis memang!

Si Bos setiap hari kerjanya ada di belakang meja, semua pekerjaan dikotak-katik di tempat duduk, tanpa pernah turun lapangan, tanpa tahu kondisi medan, dan nampaknya dia cukup puas hanya dengan laporan para staf.

Hasilnya mudah diduga, kinerja karyawan makin merosot, produktivitas kerja menurun, dan buah dari pertanggungjawaban semuanya itu berujung pada diri Si Bos. Risiko terpahit adalah dimutasikan ke tempat lain karena dipandang tidak cakap memimpin anak buah.

Model pelayanan gaya bos saya tadi tampaknya ada di mana-mana. Tempat di mana seseorang bekerja boleh diibaratkan sebagai sebuah ladang luas, yang butuh penggarap yang rajin dan tekun, butuh petani yang andal, sekaligus butuh pemimpin yang memiliki sikap kepemimpinan yang memenuhi syarat yang diperlukan.

Pemimpin yang memiliki kepribadian mau melayani, cakap, tekun, setia, berani mengambil risiko, rendah hati, dan tidak hanya sekadar mahir kotak-katik di belakang meja tanpa pernah melihat ladangnya. Pelayanan gaya ngebos memang lagi tren, orang cenderung lebih senang menyuruh orang lain, tanpa dia sendiri mau melakukannya. Di pikirannya seolah tidak ada tanggungjawab moral yang harus disandangnya. Bila terjadi kesalahan di lapangan? Gampang saja, tunjuk saja orang lain yang dianggap bersalah, lalu berkomentar dengan tujuan menutupi agar kesalahan itu tidak ditujukan kepada dirinya.

Tak sedikit orang yang senang menjadi agen NATO (No Action, Talk Only). Ke mana-mana ya cuma ngomong, kalau diminta kerjanya, nanti dulu, pikir-pikir dulu, aman enggak, menguntungkan enggak, dan seribu satu pertimbangan yang nggak jelas lainnya.

Sebetulnya kalau ditelusuri lebih jauh, orang seperti itu sesungguhnya kurang  mempunyai nyali alias penakut, tidak berani mengambil risiko. Akibatnya tidak berani mengambil keputusan karena takut salah atau takut diri sendiri yang diminta mengerjakannya.

Pelayanan, sebuah kata yang mudah diucapkan, enak didengar, namun tak mudah dilaksanakan. Karena ketika kita masuk ke dalamnya, ternyata ada harga yang harus dibayar, ada waktu yang harus dikorbankan, ada pikiran yang harus dicurahkan, dan kadang ada dana  (dari kocek sendiri) yang harus dikeluarkan. Pelayanan bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang dirindukan untuk ditandangi (dilaksanakan), tetapi bagi sebagian yang lain bisa jadi batu sandungan, menjadi sesuatu yang membebani, mengikat, menyebalkan, atau bahkan menakutkan dan  pengin dihindari jika mungkin. Tanpa jiwa pelayanan orang cenderung hanya bekerja,  yang penting sudah lakukan dan dapat upahnya. Hingga ada pameo kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?

Alangkah bahagianya jika kita ketika membutuhkan mengurus sesuatu, terlayani dengan baik, ada senyuman, ada keramahan, cepat selesai sesuai tenggat waktunya, dan ada kepuasan di antara keduanya—baik yang melayani, apalagi yang dilayani.

Mestinya begitu.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home