Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 09:09 WIB | Sabtu, 15 Oktober 2016

Kisah Yakub Menjadi Israel

Nama adalah hakikat diri manusia.
Yakub bergumul dengan Allah di Sungai Yabok (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Kisah pertemuan Yakub dan Allah di tepi sungai Yabok merupakan kisah transformasi nama (Kej. 32:22-31). Dan nama menggambarkan hakikat seseorang.

 

Yakub

”Yakub” bukanlah nama yang bermakna baik. ”Yakub” berarti ”penipu”—makna kiasan dari ”memegang tumit seseorang”.

Itu namanya, itu pula yang dilakukannya. Dia menipu Ishak ayahnya guna memperoleh berkat sulung, yang membuat berang Esau kakaknya. Kisah penipuan itu menjadikannya pelarian di negeri asing.

Sebenarnya, Esau sendiri tak begitu memedulikan hak kesulungan. Dalam peristiwa kacang merah, dia menjual haknya sebagai anak sulung demi perut. Dia menganggap remeh hak kesulungan—anugerah Tuhan yang terkandung dalam dirinya.

Yakub bisa menggunakan ketakpedulian Esau sebagai dalih. Tetapi, tujuan menghalalkan cara tak bisa diterima dalam budaya mana pun. Apa pun alasannya, orang tak suka ditipu!

Di tepi Sungai Yabok Yakub tak bisa menyembunyikan keresahannya. Kesalahan masa lampau itu terus membayangi diri. Semua hadiah yang disiapkan untuk meredakan kemarahan Esau tak bisa menyirnakan resah di hatinya.

Bahkan, setelah bergumul dengan Allah, Yakub pun terpaksa menyebutkan namanya lagi. Nama yang membuat dia teringat kesalahannya—yang membuatnya takut setengah mati.

 

Israel

Allah mengubah namanya menjadi ”Israel” karena, ”telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan menang.” Dari ”penipu” menjadi ”pejuang yang menang”.

Di mata Allah, Yakub seorang pejuang. Dia memperjuangkan berkat. Dia tidak mau melepaskan Allah sebelum memperoleh berkat. Yakub sadar tak ada yang dapat dijadikan andalan kecuali Allah semata. Dirinya pun tidak.

Penipuan yang dilakukannya itu merupakan bukti pengandalan diri sendiri dan hanya berbuah ketakutan. Selama dua puluh tahun dalam pengembaraan Yakub dibayang-bayangi dendam kakaknya.

Dia pun belajar, pengandalan diri sendiri hanya akan menjadikannya tak hanya pelaku, tetapi juga korban dari pengandalan diri orang lain. Di negeri asing Yakub kena batunya. Laban, Sang Mertua, menipunya. Sang Penipu kena tipu.

Yakub tak tinggal diam. Dia membalas penipuan mertuanya itu dengan penipuan pula. Ujung-ujungnya Yakub melarikan diri dari rumah mertuanya. Pengandalan diri sendiri senantiasa bermuara kepada ketakutan akan balasan pihak lain.

Dalam perjalanan pulang ke negerinya, Yakub sadar dia tak perlu lagi mengandalkan diri sendiri. Itulah sebabnya dia tidak melepaskan Allah sebelum menerima berkat. Yakub tahu, tak ada pribadi yang dapat melepaskannya dari semua keresahan itu kecuali Allah sendiri.

Kemenangan—yang terkandung dalam nama Israel—bermakna bahwa Yakub telah berubah perangai. Dia mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk takluk kepada Allah. Yakub menempatkan dirinya di bawah Allah.

Nama adalah identitas. Perubahan nama berarti pula perubahan hakikat diri. Dari ”mengandalkan diri sendiri” menjadi ”mengandalkan Allah”.

Dalam kisah di tepi Sungai Yabok ini bergema jugalah pengakuan pemazmur: ”Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:1-2).

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home