Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 11:22 WIB | Kamis, 23 Mei 2019

Pemanasan Global Membuat Negara Panas Lebih Miskin?

Ilustrasi. Pemanasan global. (Foto: Liberty Nation)

SATUHARAPAN.COM – Sebuah studi baru menyebutkan, selama setengah abad terakhir, perubahan iklim telah meningkatkan ketimpangan antarnegara, menyeret pertumbuhan di negara-negara termiskin, sementara meningkatkan kesejahteraan di beberapa negara terkaya.

Kesenjangan antara negara-negara termiskin dan terkaya di dunia adalah sekitar 25 persen lebih besar saat ini daripada tanpa pemanasan global, menurut para peneliti Stanford University di California, dalam laporan Pablo Uchoa dari BBC World Service, 20 Mei 2019.

Negara-negara Afrika di garis lintang tropis adalah yang paling terpukul, termasuk Indonesia. PDB per kapita Mauritania dan Niger lebih rendah sebesar lebih dari 40 persen dibanding tanpa peningkatan suhu.

India - yang menurut IMF akan menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia tahun ini - memiliki PDB per kapita 31 persen lebih rendah pada 2010 karena pemanasan global, kata studi itu.

Angka untuk Brasil - ekonomi terbesar kesembilan di dunia - adalah 25 persen.

Pada sisi lain, menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, pemanasan global kemungkinan telah berkontribusi terhadap PDB per kapita dari beberapa negara kaya, termasuk beberapa penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Harga dari Pemanasan Global

Seorang penulis jurnal itu, Profesor Marshall Burke, dari Departemen Ilmu Sistem Bumi di Stanford University, menghabiskan beberapa tahun menganalisis hubungan antara suhu dan fluktuasi ekonomi di 165 negara antara tahun 1961 dan 2010.

Studi itu menggunakan lebih dari 20 model iklim untuk menentukan seberapa banyak pemanasan yang dialami suatu negara karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Kemudian dihitung 20.000 versi berapa tingkat pertumbuhan tahunan tanpa peningkatan suhu.

Burke menunjukkan, pertumbuhan dipercepat di negara-negara sejuk dalam tahun-tahun yang lebih hangat dibanding rata-rata, sementara di negara-negara panas pertumbuhannya melambat.

“Data historis jelas menunjukkan bahwa tanaman lebih produktif, orang lebih sehat dan kami lebih produktif di tempat kerja ketika suhu tidak terlalu panas atau terlalu dingin,” katanya.

Dia berpendapat, negara-negara dingin telah menuai “manfaat pemanasan” dari meningkatnya merkuri, sementara negara-negara panas telah diberikan “hukuman pemanasan” dengan didorong lebih jauh dari suhu optimalnya.

“Ada sejumlah jalur dimana komponen kegiatan ekonomi agregat dipengaruhi oleh suhu,” kata ketua peneliti Noah Diffenbaugh.

“Misalnya, pertanian. Negara-negara dingin memiliki musim tanam yang sangat terbatas karena musim dingin. Pada sisi lain, kami memiliki bukti kuat bahwa hasil panen menurun tajam pada suhu tinggi,” kata Diffenbaugh.

“Demikian juga, ada bukti produktivitas tenaga kerja menurun pada suhu tinggi, kinerja kognitif menurun pada suhu tinggi, konflik interpersonal meningkat pada suhu tinggi.”

Untuk yang Lebih Kaya dan Lebih Miskin?

Para peneliti mengatakan meski ada beberapa ketidakpastian mengenai manfaat yang dituai oleh negara-negara yang lebih dingin dan lebih kaya, dampaknya pada negara-negara yang lebih hangat menurut sejarah, jelas.

Bahkan, jika mereka mempertimbangkan pemanasan global sejak awal Revolusi Industri, mereka mengatakan efek yang diamati akan lebih besar.

“Temuan penelitian ini konsisten dengan apa yang telah diketahui selama bertahun-tahun, bahwa perubahan iklim bertindak sebagai pengganda ancaman, dan mengambil kerentanan yang ada dan membuatnya lebih buruk,” kata Happy Khambule, penasihat politik senior di Greenpeace Afrika.

“Ini berarti yang termiskin dan paling rentan berada di garis depan perubahan iklim, dan negara-negara berkembang harus berurusan dengan dampak iklim yang semakin ekstrem dengan mengorbankan pembangunan mereka sendiri.”

Kurangnya daya tahan Mozambik tampak jelas setelah topan Kenneth, yang menewaskan lebih dari 40 jiwa sejak topan melanda pada tanggal 25 April, Khambule menambahkan.

Pada bulan Maret, lebih dari 900 orang tewas di Mozambik, Malawi, dan Zimbabwe sebagai akibat Topan Idai.

Tetapi, bahkan Afrika Selatan, yang mendapat manfaat dari infrastruktur yang lebih canggih, berjuang menghadapi peristiwa cuaca ekstrem seperti krisis air Day Zero pada 2018 dan banjir baru-baru ini di Kwa-Zulu Natal, kata Khambule.

“Negara-negara Afrika sangat sedikit berkontribusi dalam menciptakan perubahan iklim, dan meskipun demikian menghadapi dampak mendalam yang mereka tidak siap untuk menangani.”

Tidak Berbagi Kekayaan

Menurut penelitian tersebut, antara tahun 1961 dan 2010 semua dari 18 negara yang total emisi historisnya kurang dari 10 ton CO2 per kapita (sembilan ton) telah menderita dampak negatif dari pemanasan global - dengan pengurangan median 27 persen dalam PDB mereka per kapita dibandingkan dengan skenario tanpa kenaikan suhu.

Sebaliknya, 14 dari 19 negara yang emisi kumulatifnya melebihi 300 ton CO2 per kapita (272 ton) telah mendapat manfaat dari pemanasan global, dengan kontribusi median terhadap PDB per kapita sebesar 13 persen.

“Tidak hanya negara-negara miskin tidak memiliki manfaat penuh dari konsumsi energi, tetapi banyak yang telah menjadi lebih miskin (dalam istilah relatif) oleh konsumsi energi negara-negara kaya,” kata studi tersebut.

Temuan Itu Dikritik

Solomon Hsiang, profesor Kebijakan Publik di UC Berkeley, yang telah bekerja sama dengan dua peneliti itu di masa lalu, mengatakan meskipun dampak pemanasan global terhadap negara-negara yang lebih miskin dan panas “kemungkinan besar benar”, dampak negatifnya juga dirasakan di negara-negara kaya .

“Kami melihat bahaya di negara-negara kaya datangnya belakangan, menggunakan metode analisis itu. Jadi, jika Anda melihat melampaui tahun-tahun pertama saat terjadi dampak, Anda melihat kerusakan muncul di negara yang lebih dingin, lebih kaya, serta negara-negara miskin dan yang lebih panas,” kata Hsiang.

Juga kurang jelas bagaimana pengaruh pertumbuhan di negara-negara garis lintang tengah, termasuk AS, China dan Jepang - tiga ekonomi terbesar di dunia.

“Dalam jangka panjang, perubahan iklim tidak menguntungkan siapa pun,” kata Khambule. “Jika terus berlanjut, kita akan menghadapi perubahan iklim yang tak terkendali. Sangat penting bahwa penghasil emisi terbesar di dunia bertindak untuk mengurangi emisi mereka dengan segera.”

“Para pembuat kebijakan perlu menangani perubahan iklim jauh lebih serius daripada saat ini, dan memastikan ada transisi mendesak dari bahan bakar fosil dan menuju energi terbarukan.” (bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home