Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 14:24 WIB | Jumat, 25 Maret 2022

Pemberontak Tigrayan Ethiopia Menyetujui Gencatan Senjata

Seorang petugas polisi berjaga-jaga selama rapat umum pro pemerintah untuk mengecam apa yang menurut penyelenggara adalah Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) dan campur tangan negara-negara Barat dalam urusan dalam negeri negara itu, di Meskel Square di Addis Ababa, Ethiopia, 7 November, 2021. (Foto: dok. Reuters)

ADIS ABABA, SATUHARAPAN.COM-Pemberontak Tigrayan menyetujui "penghentian permusuhan" pada hari Jumat (25/3), titik balik baru dalam perang hampir 17 bulan di Ethiopia utara menyusul pengumuman pemerintah tentang gencatan senjata kemanusiaan yang tidak terbatas sehari sebelumnya.

Pemberontak mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke AFP hari Jumat pagi bahwa mereka "berkomitmen untuk menerapkan penghentian permusuhan yang efektif segera," dan mendesak pihak berwenang Ethiopia untuk mempercepat pengiriman bantuan darurat ke Tigray, di mana ratusan ribu orang menghadapi kelaparan.

Sejak perang pecah pada November 2020, ribuan orang tewas, dan lebih banyak lagi yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik telah meluas dari Tigray ke wilayah tetangga Amhara dan Afar.

Pada hari Kamis (24/3), pemerintah Perdana Menteri Abiy Ahmed mengumumkan gencatan senjata yang mengejutkan, dengan mengatakan pihaknya berharap langkah itu akan memudahkan akses kemanusiaan ke Tigray dan "membuka jalan bagi penyelesaian konflik" di Ethiopia utara.

Ia meminta Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk “menghentikan semua tindakan agresi lebih lanjut dan menarik diri dari daerah-daerah yang telah mereka duduki di wilayah tetangga.”

Konflik meletus ketika Abiy mengirim pasukan ke Tigray untuk menggulingkan TPLF, mantan partai yang berkuasa di kawasan itu, dengan mengatakan langkah itu dilakukan sebagai tanggapan atas serangan pemberontak di kamp-kamp tentara.

Pertempuran telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, memicu krisis kemanusiaan, karena laporan telah muncul tentang pemerkosaan massal dan pembantaian, dengan kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Lebih dari 400.000 orang telah mengungsi di Tigray, menurut PBB. Wilayah ini juga menjadi sasaran apa yang dikatakan PBB sebagai blokade de facto.

Amerika Serikat menuduh pemerintah Abiy mencegah bantuan mencapai mereka yang membutuhkan, sementara pihak berwenang pada gilirannya menyalahkan pemberontak atas halangan itu.

Hampir 40 persen orang di Tigray, wilayah berpenduduk enam juta orang, menghadapi "kekurangan makanan yang ekstrem", kata PBB pada  bulan Januari, dengan kekurangan bahan bakar yang memaksa pekerja bantuan mengirimkan obat-obatan dan pasokan penting lainnya dengan berjalan kaki. (AFP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home