Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 21:12 WIB | Selasa, 26 November 2013

Pemerintah Harus Konsisten pada Aturan Larangan Ekspor Mineral Mentah

Tambang Freeport di Papua. (Foto dari theaustralian.com.au)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - DPR menegaskan tidak akan mengubah ketentuan kewajiban pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri yang diamanatkan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Anggota Komisi VII DPR, Dito Gainduto, di Jakarta, Selasa (26/11) mengatakan, pemerintah harus menjalankan ketentuan kewajiban pembangunan smelter sesuai amanat UU Minerba. "Pemerintah harus tegas dan tidak boleh berubah pendapat sedikit pun, karena tekanan atau diancam pengusaha," kata dia menegaskan.

Pernyataan itu terkait permintaan Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) kepada pemerintah untuk hati-hati dalam menerbitkan aturan pelarangan ekspor mineral mentah yang berlaku mulai Januari 2014. Alasannya, akan berdampak pada kehilangan pendapatan negara hingga miliaran dolar AS.

"Pada dasarnya akan sulit untuk menghentikan ekspor mulai 12 Januari 2014, karena belum ada pembangunan smelter yang selesai tahun depan," kata Direktur Eksekutif IMA, Syahrir Abubakar saat menghadiri pertemuan pejabat senior mineral ASEAN (ASSOM) ke-13 di Nusa Dua, Bali, Selasa (26/11).

Harus Konsisten

Menurut  Dito, pemerintah harus konsisten mengikuti UU Minerba yang telah dibuat pemerintah sendiri dan juga DPR. "Pemerintah jangan cari-cari alasan. Kalau memang ada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan UU, maka distop saja ekspornya," kata dia menegaskan.

Negara lain melarang ekspor bahan mentah tambang dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negaranya sendiri, dan sudah lama diterapkan. "Jadi, kenapa kita tidak seperti itu. Ini menjadi pertanyaan,"  kata Dito.

Tanpa Kajian

Sementara itu, Pengamat energi ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, pemerintah sering kali membuat kebijakan tanpa kajian akademis terlebih dahulu, termasuk dalam hal kewajiban pembangunan smelter.

"Dalam hal ini, masalah utamanya memang ada di pemerintah. Kebijakan yang dibuat tidak menyeluruh dan tidak sungguh-sungguh menjalankannya, sehingga akibatnya seperti sekarang," kata dia, dan meminta, pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh penolakan perusahaan tambang membangun smelter.

"Apa alasan atau sebab yang mendorong mereka menolak itu,"  kata dia.

Konsistensi Pemerintah

Sejumlah perusahaan tambang skala besar seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara keberatan membangun smelter dengan alasan tidak ekonomis. Namun, di sisi lain, sejumlah perusahaan dari China dan Rusia tercatat berminat membangun smelter di Indonesia.

Perusahaan tambang asal Rusia, Rusia Aluminium (Rusal) saat bertemu Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menyatakan siap membangun smelter aluminium dengan nilai investasi sekitar enam miliar dolar AS, asalkan Pemerintah Indonesia konsisten melaksanakan UU Minerba.

Demikian pula, perusahaan tambang raksasa asal Swiss, Glencore siap membangun smelter dengan syarat pemerintah melarang ekspor bahan tambang mentah. Mereka khawatir investasi miliaran dolar AS yang ditanam menjadi sia-sia karena tidak mendapat bahan baku.

Sesuai UU Minerba, pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib memurnikan hasil tambangnya paling lambat 12 Januari 2014. Dengan ketentuan tersebut, pemegang kontrak karya yang merupakan perusahaan tambang mineral skala besar seperti Freeport dan Newmont wajib memurnikan hasil tambang emas, tembaga, dan peraknya di dalam negeri.

Selama ini, perusahaan-perusahaan tersebut hanya sampai pada tahap pengolahan atau hingga menjadi konsentrat dan belum menjadi logam. Kewajiban pemurnian hingga berbentuk logam tersebut bisa dilakukan bekerja sama dengan perusahaan lain.

IMA: Dampak di Daerah

Sementara itu, Syahrir Abubakar, menyebutkan bahwa dampak terbesar dari penghentian ekspor produk tambang mentah tersebut akan dirasakan oleh daerah. Namun dia tidak menyebutkan mengapa p[erusahaan tambang tidak membangun smelter.

Data yang dimiliki IMA  menyebutkan pemerintah akan kehilangan sekitar 45 persen pendapatan dalam bentuk pajak dan royalti yang selama ini disetor oleh dua perusahaan tambang yaitu Freeport dan Newmont.

"Lebih 8,5 miliar dolar pendapatan pemerintah dari dua perusahaan Freeport dan Newmont akan hilang 45 persennya atau sekitar 3,2 miliar dolar penerimaan negara hilang," kata dia.

Selain itu ada dua kabupaten yaitu Sumbawa Barat dan Timika akan kolaps karena sekitar 92 persen pendapatan daerahnya yang selama ini disumbang oleh dua perusahaan tersebut akan hilang. "Belum lagi ekses masalah ketenagakerjaan yang bisa muncul di dua daerah ini akibat pelarangan ekspor tersebut," kata dia.

Kebijakan Wajar

Sementara Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Sukhyar ,usai sidang ASOMM di Nusa Dua, mengatakan bahwa larangan ekspor mineral mentah adalah kebijakan yang wajar dan sudah dijalankan banyak negara termasuk anggota ASEAN.

"Ada sekitar 20 negara yang sudah memperbaiki kebijakan ekspor komoditas tambang mentahnya. Termasuk Laos dan Myanmar sudah menerapkan larangan ekspor raw material tambang," kata dia.

Menurut dia, setidaknya ada lima komoditas tambang yang perlu diselamatkan cadangannya, karena sangat penting bagi kebijakan hilirisasi industri yaitu bijih nikel, tembaga, bauksit, emas dan besi.

"Bijih nikel saja sebenarnya kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 10 juta ton per tahun. Tetapi produksinya bisa mencapai 60 juta ton karena 50 juta tonnya diekspor dalam bentuk mentah," kata dia seperti dikutip Antara. Hal ini dikhawatirkan bisa dengan cepat menggerus cadangan bijih nikel nasional.

Sukhyar mengingatkan larangan ekspor tersebut justru untuk kepentingan penyehatan perekonomian nasional sejalan dengan berkembangnya hilirisasi industri di dalam negeri.

Sesuai UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009, pemerintah mulai Januari 2014 melarang ekspor mineral atau tambang dalam bentuk mentah (raw material). Seluruh mineral mentah tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum boleh diekspor.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home