Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 11:10 WIB | Kamis, 22 September 2016

Pemimpin Antariman Bertemu di Asisi Bahas Perdamaian

Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia (WCC), Olav Fykse Tveit (kiri) dan Paus Fransiskus (kanan) dalam pertemuan di Asisi dengan sejumlah pemimpin agama berbeda. (foto: oikoumene.org)

ASSISI, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah pemimpin umat Muslim, Yahudi, Hindu, Kristen dan Budha bertemu pekan ini di Assisi, Italia dalam rangka membahas perdamaian, sementara di belahan dunia lainnya di New York City pemimpin politik dunia berkumpul di markas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memfokuskan dunia yang bermasalah.

Menurut situs resmi World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, oikoumene.org, hari Rabu (21/9), pertemuan tersebut diselenggarakan “Community Sant Egidio” atau Komunitas Sant Egidio dan berjudul “Thirst For Peace: Faiths and Cultures in Dialogue” atau “Haus akan Perdamaian: Berbagai Iman dan Budaya dalam Dialog”.

Dalam pertemuan yang diselenggarakan mulai 18 sampai 20 September tersebut menghadirkan 450 pemimpin agama yang berbeda-beda antara lain Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia (WCC), Olav Fykse Tveit, dan para pemimpin gerakan oikumenis lainnya, seperti Patriark Ekumenis Konstantinopel, Bartolomeus, presiden WCC untuk Eropa, Uskup Agung Emeritus Anders Wejryd; dan Uskup Agung Canterbury, Justin Welby.

Paus Fransiskus berpartisipasi dalam upacara penutupan Hari Doa Sedunia untuk Perdamaian di Assisi pada 20 September. Dalam acara tersebut Paus Fransiskus mengutip Matius 5:9 yang berbunyi, “Berbahagialah orang yang membawa damai,” kata Fransiskus.

“Kami haus untuk perdamaian. Kami berkeinginan  menjadi saksi perdamaian. Dan di atas semua, kita perlu berdoa bagi perdamaian, karena perdamaian adalah pemberian Allah, dan itu ada pada kita memohon untuk itu, menerimanya, dan membangun setiap hari dengan bantuan Tuhan,” kata dia.

Paus Fransiskus mengatakan tradisi keagamaan  memang beragam namun perbedaan bukanlah penyebab konflik dan provokasi, atau ada jarak dalam pergaulan antariman. “Kami belum berdoa terhadap satu sama lain hari ini, seperti memiliki sayangnya kadang-kadang terjadi dalam sejarah,” kata Paus Fransiskus.

Paus Fransiskus menambahkan umat manusia wajib menyambut perdamaian. “Ada keterbukaan untuk berdialog, penanggulangan tertutup pikiran, yang bukan merupakan strategi untuk keselamatan, melainkan sebuah jembatan di atas ruang kosong. Perdamaian berarti kerja sama, pertukaran aktif dengan yang lain, untuk membangun dunia yang lebih baik,” kata dia.

Dalam kesempatan tersebut Sekretaris Umum WCC, Olav Fykse Tveit memimpin panel terorisme dan ekstremisme agama yang berjudul “Terorisme: A Denial of God.”

"Tidak ada yang bisa mengklaim nama Allah menggunakan teror atau kekerasan," kata Tveit.

Tveit mengatakan teror merupakan penghujatan terhadap Sang Pencipta karena semua umat manusia merupakan sama-sama dalam gambar Allah. “Teror adalah dosa terhadap manusia lain, terhadap kesucian hidup, dan karena itu melawan Allah,” kata Tveit.

Tveit mencatat ideologi yang mendasari serangan mereka adalah campuran dari pembenaran politik, budaya, dan pembenaran agama sebagai alasan untuk berbuat kekerasan. Faktor kunci untuk mengatasi terorisme adalah penolakan kemanusiaan terhadap orang lain. 

"Teror bukan soal angka atau gambar dari suatu tempat, karena tindakan tersebut merupakan tindakan kita sebagai manusia. Kita semua bisa menjadi korban dari teror,” kata Tveit.

Dia menceritakan meloloskan diri dari serangan teror di Bologna, Italia pada 2 Agustus 1980. Dalam catatan Wikipedia, peristiwa di Bologna atau yang dikenal orang dengan “Bologna Massacre” adalah aksi bom di Bologna Central Station atau Stasiun Kereta Api, Bologna, Italia.  

“Saya tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa saya harus hidup dan yang lain tidak dalam daftar itu. Saya hanya bisa menjawab pertanyaan apa yang saya lakukan yakni belajar menjadi seorang pendeta, untuk menggunakan hidup saya dalam pelayanan bagi Allah dan seluruh umat manusia, berbagi Injil, yang bekerja untuk keadilan dan perdamaian,” kata Tveit.

Tveit mengatakan terorisme adalah dimensi transenden, transformatif dan holistik dari agama yang tereduksi menjadi ideologi totaliter yang membenarkan dan memaksakan diri dengan cara-cara yang merusak dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, kata dia, terorisme dapat dianggap sebagai paham yang tidak memberi ruang kehidupan di luar kelompok mereka sendiri, selain itu kelompok teroris hidup dalam kelompok sendiri sebagai kelompok entitas kolektif.

“Kita harus kritis terhadap diri sendiri. Harus ada ruang untuk kritik diri dan pertobatan, untuk imajinasi konstruktif yang membuka pintu  penyembuhan, rekonsiliasi, dan kehadiran yang memberi hidup baru bagi manusia yang memperbarui semua kehidupan.

Dia mengakhiri renungannya dengan mengutip Mazmur 118:17: "Aku tidak akan mati, tapi aku akan hidup, dan menceritakan perbuatan Tuhan.”

Tveit berpartisipasi dalam panel pada ketimpangan ekonomi, dengan merenungkan adanya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan menjadi masalah yang mengemuka di banyak negara di dunia. “Umat Kristen jangan dibangun jika ada besarnya  kesenjangan sosial,” kata dia.

Tveit mengatakan iman dalam Allah Sang Pencipta merupakan iman yang berdasarkan kesaksian Alkitab, dan iman tersebut mengharuskan umat Kristiani bekerja menuju pemerataan sumber daya.

Tveit mengatakan seperti terdapat dalam Keluaran pasal 20 hingga 23 yang memfokuskan kepada Perjanjian dan Dasa Titah. Dalam pasal-pasal tersebut Yesus mengajarkan berdoa untuk kebutuhan, bukan dengan berdasar kepada keserakahan.

Program konferensi penuh meliputi presentasi dari peraih Nobel Jody Williams dari Amerika Serikat dan Tawakkul Karman dari Yaman, bersama dengan makan siang dengan para pengungsi Suriah.

Pada homili saat Misa di hari terakhir konferensi, Paus Fransiskus mengatakan hati manusia adalah jantung dari perdamaian, dan berada di dalam perbedaan agama-agama. “Setiap orang, semua orang, kita semua adalah anak Tuhan, dan Tuhan  adalah yang memberi damai sejahtera. Tidak ada dewa perang, yang membuat perang jahat adalah setan yang ingin membunuh semua orang,” kata Paus Fransiskus.

Sementara itu Uskup Agung Gereja Swedia, Andres Wejryd menyampaikan materi presentasi berjudul “Christian Unity: Ecumenism of Mercy” atau Persatuan Kristen dan Ekumenisme Pengampunan.

Dalam presentasi tersebut dia menekankan di banyak daerah di dunia umat Kristen diharap terlibat  dalam misi bersama.

“Sebagai manusia, kita diutus ke daerah yang berbeda dan memiliki tanggung jawab yang besar untuk membangun struktur yang lebih baik, dan kami dikirim untuk membawa kisah Alkitab yang  mengubah dunia,” kata dia.

Wejryd melandasi presentasinya dari bacaan di Alkitab yakni dari Efesus 4 yang membahas tentang kesatuan umat Kristiani, karena mempercayai satu Bapa dan satu baptisan.

“Dan tidak satupun dari kita orang Kristen yang merasa nyaman jika kita sudah bersikap jujur ​​dan sepenuh hati merayakan kebersamaan dan berbagi dalam Perjamuan Kudus,” kata Wejryd.

Sementara itu Patriark Ekumenis Bartolomeus, dalam sambutannya, mengatakan perdamaian  membutuhkan beberapa pilar agar tetap kokoh berdiri bahkan saat terancam bahaya.

“Tidak akan ada perdamaian tanpa saling menghormati dan pengakuan, tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian tanpa kerja sama yang bermanfaat antara semua bangsa di dunia,” kata Patriark Ekumenis Bartolomeus.

Dia mengatakan manusia harus mampu merefleksikan mana yang salah atau di mana belum diurus, “Fundamentalisme saat ini telah meningkat, mengancam tidak hanya dialog dengan orang lain, tapi bahkan dialog dalam diri kita sendiri, hati nurani kita sendiri,” kata dia.

“Kita harus bisa mengisolasi mereka, untuk memurnikan mereka, dalam terang iman kita, untuk mengubah mereka menjadi kekayaan untuk semua," kata dia seperti dikutip dari Radio Vatikan.  

Uskup Agung Anglikan Justin Welby merefleksikan dalam upacara doa ekumenis tentang kesalahpahaman di dunia saat ini terjadi karena ada anggapan uang membuat orang kaya. “Kita seringkali berpikir kita adalah yang paling kaya,” kata Welby.

“Uang dan kekayaan kita adalah seperti uang mainan dalam permainan anak-anak, kita bisa saja berpikir hal itu mampu membeli barang dalam ekonomi dalam pengertian manusia, namun hal tersebut tidak berlaku dalam ekonomi dalam perspektif Tuhan,” kata Welby. Dia menambahkan manusia hanya benar-benar dianggap kaya, ketika manusia mau menerima kemurahan dari Tuhan.

Konferensi ini menandai ulang tahun ke-30 pertemuan “World Day of Prayer for Peace” atau pertemuan sejumlah pemimpin antariman di dunia. Pertemuan ini digagas oleh Paus Yohanes Paulus II di Asisi, Italia pada 1986.  (oikoumene.org)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home