Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 07:47 WIB | Jumat, 23 September 2016

Jemaah Ahmadiyah Indonesia Kunjungi Redaksi Satuharapan

Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana (kanan) saat menyerahkan cindera mata kepada Pemimpin Redaksi satuharapan.com, Sabar Subekti (kiri) dalam kunjungan hari Kamis (22/9), di kantor satuharapan.com, Jakarta. (Foto: Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menekankan penting untuk melakukan sillaturahmi dengan media. JAI menyadari saat ini masih sedikit media di Indonesia – baik yang mainstream maupun yang bukan mainstream – yang memiliki kepedulian terhadap kelompok atau kepercayaan minoritas di Indonesia.

“Tujuan yang utama dari kunjungan ini adalah silaturahmi, walau saya sering kontak, sebenarnya kami masih jarang bertemu, jarang sekali ya,” kata Juru Bicara JAI, Yendra Budiana saat dia dan rekan-rekannya melakukan kunjungan ke satuharapan.com, Jl. Dewi Sartika 136 D, Jakarta, hari Kamis (21/9).

Yendra mengatakan keinginan JAI bertemu dengan media, selain menjalin silaturahmi karena JAI ingin  mengucapkan terima kasih kepada satuharapan.com yang setia mengawal aktivitas pengikut Ahmadiyah di Indonesia.

“Kami melihat media ini sangat positif, karena saat ini masih jarang ada media yang berniat mempublikasikan apa yang terjadi dengan kelompok seperti kami, sebenarnya tidak enak kalau membicarakan kata mayoritas dan minoritas," dia menambahkan.

Dia mengatakan JAI berharap banyak media yang memiliki niat positif mempublikasikan kegiatan kelompok-kelompok seperti JAI, tidak hanya media nasional atau mainstream namun juga media lokal terutama media online yang memiliki itikad baik yang sama.

Yendra mengapresiasi karena ada beberapa media baik cetak atau online yang mulai memberitakan aktivitas seperti kelompok JAI, dan ada juga beberapa media tersebut yang melakukan pemilihan kata yang lebih halus dan tidak frontal.

“Misalnya ada media yang menampilkan kata ‘sesat’ dalam menyebut kelompok-kelompok seperti kami, tetapi ada juga yang mengganti ‘sesat’ dengan kata ‘berbeda’,” kata dia.

Menurut dia, kata “sesat” dan “berbeda” akan memiliki tanggapan berbeda di mata publik, karena berdasar pengalaman yang dilalui JAI dan beberapa kelompok yang seperti JAI, publik menghakimi mereka karena ada media yang salah melakukan interpretasi atas fakta yang dialami JAI.

“Kami dihakimi oleh publik karena opini di media, karena kami dicap sesat atau bahkan kami dianggap keluar dari mainstream, dan melawan agama mainstream, bahkan dianggap melawan otoritas keagamaan yang resmi diakui pemerintah,” kata Yendra.

Yendra mengharapkan dengan adanya kunjungan  JAI ke satuharapan.com selain menjalin silaturahmi akan lebih mengakrabkan dan menentramkan, agar di masa mendatang media online dapat mengetahui sumber berita yang pasti tentang Ahmadiyah dari JAI, bukan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Kami tidak ingin lagi terdapat berita yang salah tentang Ahmadiyah, karena bukan bersumber dari orang Ahmadiyah, selain itu karena lebih banyak  yang tidak mengkonfirmasi langsung kepada Ahmadiyah,” kata dia.

Dia memberi contoh, dengan mengacu kepada situs tentang Ahmadiyah di Indonesia, ahmadiyah.id, salah satu kesalahan yang paling sering terjadi adalah banyak orang mengatakan Ahmadiyah sebagai kepercayaan baru. “Ahmadiyah bukan agama baru, sama sekali bukan. Ahmadiyah sebetulnya adalah gerakan dalam Islam dimana disitu dideclare  syahadatnya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama rukun Islam juga sama,” kata dia.

Dia menyayangkan saat ini di Indonesia dan mungkin beberapa negara di dunia cenderung berpihak pada yang kuat, atau pemerintah dari sebuah negara terkesan memaksakan sebuah pandangan atau paham. “Kalau (kepercayaan atau aliran) ini salah, dan yang benar seperti itu, dan tindakan seperti itu langsung disertai  judgement (penghakiman) dan harus dihakimi oleh hukum positif,” kata dia.

Menurut dia, keyakinan, kepercayaan atau agama  sulit dihakimi karena, dalam pandangan dia, keyakinan adalah sesuatu yang sangat transendental.

“Bagi kami yang jauh lebih penting adalah agama harus memiliki ajaran yang bermanfaat, berfaedah, dan memberi warna dalam kehidupan riil,” kata dia.

Dalam pemahaman JAI, kata dia, Khalifah Ahmadiyah tidak pernah bercita-cita mendirikan negara, dan memisahkan urusan agama dengan negara. Khalifah Ahmadiyah adalah kekhalifahan spiritual yang bertujuan menyatukan dan mendidik moral manusia di seluruh dunia dalam nilai nilai yang diturunkan Sang Maha Pencipta. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home