Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 13:52 WIB | Rabu, 20 Agustus 2014

Pemuda Kristen, Muslim, Yahudi Upayakan Keadilan Iklim

From left to right: Tariq Abdul Akbar, Liron Alkolombra and Mark Edwards, students in the WCC interfaith summer course. (Foto: oikumene.org)

BOSSEY, SATUHARAPAN.COM – Di tengah realitas ketegangan yang dipicu oleh agama, sekelompok pemuda Kristen, Muslim dan Yahudi membentuk sebuah komunitas multi-agama. Sebagai bagian dari program musim panas yang disponsori oleh Dewan Gereja Dunia (WCC), komunitas ini ingin berupaya melindungi seluruh ciptaan Tuhan. Pernyataan tersebut merupakan sebuah perhatian khusus yang sangat umum bagi semua agama.

Komunitas ini terdiri dari 19 mahasiswa Kristen, Muslim dan Yahudi dari 12 negara yang berbeda. WCC Ecumenical Institute merupakan tuan rumah bagi mereka yang berbasis di Bossey, Swis dari tanggal 4 hingga 22 Agustus 2014.

Peserta dalam komunitas tersebut di antaranya adalah Tariq Abdul Akbar, seorang Muslim yang berusia 21 tahun dari Amerika Serikat. Dia adalah seorang mualaf pada usia 18 dan mahasiswa di Community College of Baltimore. Akbar menyadari pentingnya bekerja sama sebagai komunitas agama untuk keadilan iklim.

“Di mana saya berasal, saya mengamati pemisahan dalam keragaman. Hal ini sering digunakan sebagai politik ketimbang filsafah agama yang memisahkan kita,” kata Akbar. “Namun kita harus tahu sebagai orang beriman, yang kami butuhkan adalah mengesampingkan agama kami dan bersama-sama untuk meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim. Selain itu, ini juga merupakan hak asasi manusia dan mempengaruhi semua orang di dunia.”

Seperti yang dilansir oleh oikoumene.org pada Selasa (19/8), Akbar akan berada dalam sekelompok pemuda yang berpartisipasi di Interfaith Summit on Climate Change di New York yang akan diselenggarakan pada 21-22 September mendatang.

Para siswa di kursus musim panas ini sedang menyusun pernyataan mengenai perubahan iklim yang akan disajikan pada konferensi tersebut. Akbar menjelaskan bahwa pernyataan ini akan menampilkan beberapa pandangan dari para pemuda yang ingin melihat tindakan nyata dari negara-negara dan pembuat kebijakan untuk keadilan iklim.

“Dengan pemimpin dari WCC dan komunitas agama lainnya, kami berharap untuk bisa berkomunikasi tentang keprihatinan kami kepada sekretaris umum perubahan iklim PBB pada tanggal 23 September mendatang. Kami berharap untuk memasukkan suara dari para pemuda dalam perdebatan global mengenai perubahan iklim,” kata Akbar.

Mark Erdwards, siswa lain dari Gereja Ceylon di Sri Lanka juga menggemakan pandangan yang sama.

Edwards menyoroti dampak perubahan iklim terhadap negara-negara berkembang, yang katanya menanggung beban bencana ekologis. Melalui sesi diskusi kitab suci, di mana teks-teks agama dari Kristen, Islam dan Yahudi dibacakan, Edwards menemukan inspirasi untuk mengatasi masalah iklim. “Ini merupakan tanggung jawab yang etis untuk menciptakan rasa hormat yang umum bagi semua agama Abraham,” katanya. “Bumi adalah hadiah bagi kita semua dan kami bertanggung jawab untuk kesejahteraannya,” tambahnya.

Edwars mengatakan kitab suci membuatnya mengadopsi pemikiran baru tentang karyanya mengenai isu iklim di masyarakat lokal. “Bahkan jika kita menafsirkan dan memahami teks-teks agama dengan cara yang berbeda, ada visi umum dalam kitab suci kami yang mengajarkan kita untuk menghormati lingkungan kita.”

Perubahan Iklim: Perhatian Bersama

“Kita bertanggung jawab atas masa depan anak-anak kita. Oleh karena itu, kita harus menggunakan tanggung jawab agama dan etika untuk menciptakan kesadaran tentang perubahan iklim,” kata Edwards.

Sekembalinya dia dari Sri Lanka, sebuah negara yang terdiri dari umat Buddha, Kristen, Hindu dan Muslim, Edwards berharap untuk melakukan pertemuan bagi kaum muda dan anak-anak di gerejanya. “Melalui program ini, kami berharap dapat mendorong kaum muda untuk menciptakan kesadaran tentang perubahan iklim dan dampaknya.”

Untuk Liron Alkolombra, wakil dari tradisi Yahudi di kursus musim panas di Bossey, hidup dalam komunitas multi-agama adalah “pembuka mata”. “Hidup bersama sebagai satu komunitas telah membuat kita melepas topeng kami dan mengesampingkan sebuah stereotip,” kata Alkolombra.

“Kunjungan kami ke sinagoga, gereja dan sebuah masjid di Swiss membuka pikiran saya. Saya menyadari bahwa kita percaya pada satu Tuhan dan ini merupakan bagian dari kemanusiaan,” kata dia. “Sementara di ruang kelas kita berdiskusi dengan saling menghormati dan di luar kelas kita menghadapi realitas kehidupan,” kata dia. Alkolombra mengatakan pertemuan ini membuatnya saling menghormati nilai-nilai agama lain dan tidak menjauhkan diri dari realitas.

Alkolombra yang merupakan pemandu wisata di kota Yerusalem, mengatakan bahwa air merupakan masalah besar di wilayahnya. “Saya dibesarkan di suatu wilayah di mana saya tahu betapa pentingnya air. Saya tahu sebagai seorang anak kita tidak boleh membuang-buang air,”

“Ketika kami sedang menghadapi tantangan tersebut, tradisi keagamaan kami mengharuskan kami untuk berbicara tentang perubahan iklim, kelangkaan air dan isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan.”

Alkolombra juga akan berpartisipasi dalam New York Interfaith Summit on Climate Change.

Kursus musim panas ini akan diselenggarakan setiap tahun sejak 2007.

Sebagai bagian dari inisiatif pembentukan ekumenis, tentu saja dipegang oleh Ecumenical Institute di Bossey bekerjasama dengan program WCC tentang dialog antar-agama dan kerjasama dengan  Fondation pour l'entre-connaissance (Inter Knowing Fondation) dan Fondation Racines et Sources (Roots and Sources Foundation). (oikoumene.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home