Loading...
MEDIA
Penulis: Prasasta Widiadi 18:21 WIB | Senin, 27 Februari 2017

Penanganan Hukum Kasus Hate Speech di Indonesia Masih Lemah

Pakar Hukum dan Pemerhati Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis (kedua dari kiri), Direktur Tindak Pidana Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Fadil Imran (tengah), Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid (kedua dari kanan), dan Koordinator Imparsial, Al Araf (paling kanan) pada Diskusi Publik : “Penebaran Kebencian, Problem Intoleransi dan Peranan Penegak Hukum”, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, hari Senin (27/2). (Foto: Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar Hukum dan Pemerhati Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis mengemukakan penanganan hukum terhadap kasus-kasus hate speech di Indonesia masih lemah.

“Penanganan terhadap kasus-kasus hate speech (ujaran kebencian) di Indonesia masih lemah, sebagian (yang terjadi) karena regulasi yang tidak cukup dialogis dan jelas,” kata Todung saat memberi materi dalam Diskusi Publik: “Penebaran Kebencian, Problem Intoleransi dan Peranan Penegak Hukum”, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, hari Senin (27/2).

Selain itu, kata Todung, dia melihat bahwa langkah yang dilakukan penegak hukum di Indonesia dalam melakukan penindakan terhadap pelaku ujaran kebencian terkesan masih ragu-ragu.

“Ada ketakutan bahwa penindakan terhadap ujaran kebencian akan dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), atau aparat penegak hukum sendiri memang belum sepenuhnya siap untuk melakukan enforcement (penindakan) tersebut,” kata Todung.

Dia melihat banyak kasus yang bermula ujaran kebencian, berubah menjadi digital harrasement (penyerangan secara agresif  dalam dunia digital), karena kasus-kasus tersebut tidak tertangani dengan baik.

“Tetapi memang ada kendala regulasi,” kata dia.

Dia mengemukakan penanganan hukum terhadap hate speech yang lemah mengakibatkan tekanan, diskriminasi, dan represi terhadap kelompok-kelompok minoritas semakin masif, apalagi dalam konteks demokrasi di Indonesia terdapat adagium (anggapan) bahwa pemegang suara terbanyak adalah pemegang kebenaran.

“Padahal kelompok minoritas seharusnya juga mendapat tempat dan aspirasi,” kata dia.

Aturan  

Dia mengatakan  aturan-aturan terkait penanganan kejahatan bernuansa ujaran kebencian sudah diatur terlihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu, kata dia, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Taransaksi Elektronik, kemudian ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.

Dia menilai saat ini KUHP – yang merupakan warisan sejak Indonesia mengalami penjajahan dari Belanda – masih dalam proses pematangan karena masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

“Saya belum mengamati lagi tentang RKUHP (Rancangan KUHP) yang sedang dibahas di DPR, tetapi menurut saya itu akan menjadi sumber hukum baru, yang menurut saya itu jangan sampai overlapping (tumpang tindih) dengan yang lain,” kata Todung.

Dia mengatakan dalam penanganan hate speech di Indonesia lebih banyak didominasi kepentingan elit politik, dan biasanya terkait dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang digunakan sebagai instrumen untuk meraih tujuan politik.

“Ini (ujaran kebencian) marak ketika pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pilpres (pemilihan presiden),” kata Todung.

Fenomena Global

Dia mengatakan, jika berkaca kepada yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang marak dengan aksi dan paham ketakutan kehadiran penduduk beragama Islam (islamophobia), sesungguhnya fenomena tersebut juga ditimbulkan oleh ujaran kebencian dan sifat populisme yang ditunjukan pemimpin negara tersebut.

Dia merasa khawatir apa yang terjadi di luar Indonesia akan berimbas ke Tanah Air.

“Kalau di AS ada sentimen Anti Islam atau islamophobia yang sedemikian masif, eksplisit, yang dilakukan Trump (Presiden AS, Donald Trump). Saya tidak melihat kebijakan Trump tersebut bukanlah sikap yang menunjukan sebagai sikap Kristen, jadi ini harus dicermati,” kata dia.

Dia menyoroti beberapa bulan sebelum Trump terpilih sebagai Presiden AS, penantang Trump, kala itu, Hillary Rodham Clinton menyuarakan bahwa kampanye yang didengungkan Trump dianggap turut menyuburkan ekstremisme dan terorisme di negara tersebut.

“Kita mungkin tidak sejauh itu, tetapi kelompok radikalisme berbasis agama masih mungkin berkembang subur di Tanah Air,” kata dia.

Pengawasan Terhadap Media Sosial

Dia mengatakan karena serangan ujaran kebencian sangat masif, termasuk yang membawa nama agama maka dia menyatakan setuju agar pemerintah mengendalikan alur media sosial, karena memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Saya tidak ingin orang di gereja melakukan khotbah yang bertemakan anti Islam, saya tidak ingin orang di masjid menghantam orang Kristen,” kata dia.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home