Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Sri Yunanto 20:11 WIB | Rabu, 13 November 2013

Pencitraan Substantif Vs Pencitraan Simbolik Retorik

SATUHARAPAN.COM - Jagad politik Indonesia saat ini diisi oleh kompetisi lunak (soft competition) dari para kandidat yang akan maju dalam Pilpres Langsung  2014. Gema pencalonan presiden ini bahkan lebih nyaring dari pemilihan legislatif yang mendahuluinya. Beberapa partai besar dan sedang memang telah menetapkan tokohnya sebagai calon.

Gambaran peta pencalonan presiden itu memang belum lengkap karena dua partai besar, yaitu Partai PDI-Perjuangan dan Partai Demokrat, belum secara resmi mengumumkan  calonnya. Partai Demokrat  sedang melakukan konvensi untuk memilih salah satu dari 11 kandidat  untuk  secara resmi dicalonkan secara resmi oleh Partai Demokrat, yakni Dr. Ali Masykur Musa, Dr Anies Baswedan, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Dino Patti Djalala, Jenderal (purn) Endriartono Sutarto, Meteri Perdagangan Gita Wiryawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wiboowo dan Sinyo Haris Sarundayang.

Siapapun dari 11 kandidat yang terpilih bisa dipastikan akan menanggung  tiga  beban berat.  Jika dilihat dari berbagai survei, kesebelas peserta konvensi ini tidak mempunyai tingkat elektabilitas tinggi, terutama jika dibandingkan dengan Jokowi yang secara resmi belum ditetapkan sebagai calon presiden oleh PDIP, walaupun tuntutan kepada PDIP untuk menetapkan Jokowi semakin besar. Termasuk tuntutan dari luar partai itu untuk menetapkan Jokowi sebagai Capres PDIP sebelum Pemilu Legislatif, karena langkah tersebut diyakini  akan mendongkrak  suara PDIP yang diperkirakan bisa menembus 25%.

Selain itu, pencalonan Jokowi akan memberi  harapan baru khusunya kepada warga PDIP bahwa kans  partai ini untuk memegang kekuasaan eksekutif pasca 2014 akan besar. Harapan itu artinya akan mengahiri “puasa kekuasaan eksekutif” PDIP yang selama dua periode pemerintahan (2004-2014) konsisten sebagai partai oposisi.

Pertanyaan yang menarik untuk dianalisa adalah  mengapa Jokowi selalu berada pada posisi tertinggi, sementara kandidat lain relatif  stabil atau bahkan, seperti Abu Rizal Bakri, prestasinya tidak beranjak dari 10%, padahal elektabilitas Golkar diharapkan 30%.

Tinggi–rendahnya elektabilitas seseorang bisa dikarenakan faktor personal dan faktor non-personal.  Faktor personal  berasal dari diri kandidat itu sendiri . Sedangkan faktor non-personal bisa berasal dari luar kandidat. Faktor personal terkait dengan Jokowi, misalnya, karena figur ini dikenal sederhana, spontan, merakyat dengan berbagai aksi blusukan. Ia juga pada satu sisi santun, menghindari kekerasaan dalam penertiban; tetapi juga bisa tegas, misalnya dalam mengatur PKL di Tanah Abang. Masyarakat DKI segera merasakan hasil kepemimpinan Jokowi yang baru berjalan  satu tahun.

Gebrakan ringan yang terkait dengan penanganan  banjir dan  penanganan kemacetan, kemudian diikuti dengan gerbrakan kebijakan strategis, misalnya dalam rencana pembuatan MRT dan monorel, segera akan dilihat buktinya. Suatu prestasi yang tidak bisa dicapai oleh gubernur sebelumnya.

Gaya kepemimpinan Jokowi itu, yang secara riil dirasakan oleh masayarakat kemudian  didukung oleh media massa yang secara alami meliput, dengan lebih menonjolkan substansi dan bukti riil yang bisa dirasakan dan disaksikan baik oleh masyarakat DKI maupun di luar DKI. Jokowi menjadi figur yang disukai media (media darling) dan disukai masayarakat (people darling). Gaya kepemimpinan ini merupakan anti-tesa dari gaya kepemimpinan para politisi sekarang yang hanya menebar pesona, menjaga imej (“ja’im”, kata anak muda) penuh kepura-puraan dan mengandalkan kesantunan (retorika) tetapi hasilnya tidak memuaskan dan tidak mampu menyelesaiakan persoalan-persoalan strtategis masyarakat seperti kemacetan dan banjir.

Dalam kutub yang berseberangan, Abu Rizal Bakrie  (ARB) yang gencar melakukan ‘soft campaign’ melalui media TV yang dikendalikan oleh kerajaan bisnisnya, elektabilitasnya tidak  meningkat. Bahkan kalangan internal Partai Golkar mulai mergagukan potensi ARB memenangi Pilpres 2014. Suara-suara internal untuk mengevaluasi pencalonan ARB mulai muncul. Padahal jumlah tayangan iklan ARB di saluran TV sangat sering, jauh lebih sering  dari Jokowi. Jumlah itu belum ditambah dengan jutaan spanduk kader Golkar yang selalu menempel gambar ARB bersamaan dengan gambar Caleg dari partai Golkar.

Cara-cara yang sama juga dilakukan oleh partai lain. Jokowi tidak menikmati fasilitas seperti ini.  Mengapa publikasi yang gila-gilaan ini tidak mampu mendongkrak elektabilitas ARB? Secara  personal ARB  adalah tokoh yang belum bisa menumbuhkan kecintaan masyarakat dan media massa. Walaupun ia mantan Menteri, saat ini ARB tidak mempunyai panggung politik yang secara  langsung  dan bisa dijadikan media untuk mengekspose kelebihan-kelebihan personalnya. Selain itu ARB juga tidak mempunyai panggung riil untuk mengekspose karakternya atau memang tidak mempunyai karakter sebagaimana yang dimiliki oleh Jokowi dan bisa menumbuhkan kecintaan masayarakat

Iklan-iklan politik ARB dan juga tokoh-tokoh lain, seperti Wiranto–Hary Tanoe dan dalam hal terntentu Prabowo dan Hatta Rajasa, hanya menonjolkan pendekatan retorika dan simbol belum mampu meyakinkan masayarakat dan menumbukhkan kecintaan masayarakat pada mereka. Sekalipun retorika dan simbol itu mengambarkan bahwa mereka negarawan, toleran, peduli, nasionalis, sayang kelaurga atau mempunyai presntasi sejarah, namun tidak didukung oleh bukti riil yang segar, genuine dan spontan. Rakyat lebih percaya Jokowi yang dengan tegas tetapi damai menyelesaikan PKL Tanah Abang atau Penghuni Waduk Pluit , daripada melihat gambar Prabowo yang kelihatan tegas. Rakyat Mungkin juga lebih percaya Jokowi yang blusukan ketemu rakyat dan berdialog, daripada Iklan ARB yang juga meyakinkan bahwa ia juga merakyat.

Dengan kata lain, untuk meumbuhkan kecintaan masyarakat yang nantinya akan memdongkrak elektablitas , saat ini bukan lagi pada tahapan mengenal si tokoh yang biasanya mengandalkan tampilan-tampilan visual, melainkan dengan menumbuhkan kesukaan masayarakat, yaitu dengan mengekspose bukti-bukti konkret, bukan hanya janji. Tingginya elektabilitas Jokowi yang sebenarnya tidak terlalu sering mengiklankan diri dengan berbagai retorika dan simbol, seharusnya memberikan inspirasi kepada para politisi bahwa era saat ini adalah era bukti (esensi) bukan  retorika dan simbol-simbol yang menebar janji tapi tidak terbukti, atau bahkan buktinya berlawanan dengan janjinya itu!

 

Penulis adalah dosen di Fisipol-UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home