Loading...
OPINI
Penulis: Binsar Jonathan Pakpahan 17:26 WIB | Sabtu, 09 November 2013

Lebih Baik Terlambat Daripada Tidak Sama Sekali

SATUHARAPAN.COM - Permintaan maaf pemerintah Belanda atas Agresi Militer mereka yang dilakukan antara tahun 1945 dan 1949 memulai sebuah era baru dalam hubungan bilateral Indonesia dan Belanda. Dalam peristiwa tersebut, ribuan orang Indonesia kehilangan nyawanya. "Pemerintah Belanda sadar akan tanggungjawab besar terhadap janda-janda korban perang dan eksekusi tanpa proses peradilan di Indonesia yang dilakukan oleh militer Belanda. Atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permohonan maaf ini.”

Tindakan resmi yang disampaikan dalam upacara resmi oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Perdana Menteri Mark Rutte berkata dalam sebuah konferensi pers di Belanda, “Ada kesepakatan bahwa kasus pelanggaran berat yang mirip dengan yang terjadi di Sulawesi Selatan atau Rawagede yang terjadi antara 1945 dan 1949, ketika orang dieksekusi tanpa proses yang benar.” Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi sebesar 20.000 euro bagi tiap janda korban kejahatan Belanda tersebut. Ini adalah permintaan maaf kedua yang secara resmi dilakukan mereka setelah Rawagede (2011).

Ada beberapa alasan mengapa permintaan maaf ini baru mungkin dilakukan sekarang. Pertama, alasan finansial. Beberapa koran di Belanda menyatakan alasan keterlambatan pemerintah Belanda untuk melakukan hal ini disebabkan oleh perhitungan mereka akan besarnya kompensasi yang harus mereka berikan.

Kedua, alasan waktu. Kebanyakan para veteran tentara Belanda yang masih hidup, yang dulu pernah bertugas di Indonesia, sudah memasuki usia lanjut dan semakin berkurang jumlahnya. Jika hal ini dilakukan sepuluh tahun yang lalu, dapat dibayangkan bahwa para veteran akan memprotes tindakan ini. Mereka akan merasa disalahkan atas “jasa” mereka terhadap negaranya.

Karena alasan inilah, Belanda masih belum mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia; bahwa agresi militer yang mereka lakukan adalah benar karena Indonesia masih terhitung sebagai daerah jajahan mereka sampai 27 Desember 1949. Mungkin dengan permintaan maaf ini, pemerintah Belanda tidak akan memiliki keberatan lagi untuk mengakui tanggal resmi kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, perbaikan hubungan bilateral. Setelah pemerintah Belanda menolak permintaan Indonesia untuk membeli peralatan peralatan keamanan, dengan alasan kemanusiaan, pemerintah Jerman setuju menjual alutsista (alat utama sistem senjata) kepada Indonesia senilai 3,3 juta euro. Pembelian dari Jerman ini memukul pemerintah Belanda yang memang membutuhkan pemasukan untuk mengatasi krisis ekonomi sekaligus memperburuk hubungan kedua negara. Karena itu, pada tahun ini, pemerintah Belanda menyetujui ekspor peralatan militer senilai 345 juta euro untuk perlengkapan Angkatan Lau Indonesia. Juga masih segar di ingatan, bahwa pada tahun 2010, Presiden Yudhoyono juga membatalkan kunjungannya ke Belanda karena ancaman demonstrasi yang dilakukan Organisasi Republik Maluku Selatan. Timing permintaan maaf kali ini memang tepat, meski terasa kurang cepat.

Dunia sekarang memang cenderung untuk mengingat peristiwa konflik komunal yang traumatis di masa lampau, dengan tujuan untuk menyelesaikannya, seperti Prof. Liesbeth Zegveld, pakar hukum yang mengajar di Universitas Leiden mengatakan, “supaya berkasnya bisa ditutup sekarang.”

Keinginan dunia untuk mengingat masa lampau yang pahit adalah untuk menyelesaikannya supaya semua orang bisa lepas dari beban masa lalunya. Proses ini juga didorong oleh teknologi media yang semakin berkembang, yang menyediakan “ingatan-ingatan” ini dalam berbagai bentuk yang mudah diakses dari belahan dunia manapun. Berkat teknologi, kita bisa mengakses berbagai “ingatan” alternatif yang bersaing untuk menyajikan kebenaran. Semakin banyak penelitian di bidang psikologi, sosiologi, dan filosofi yang menyatakan bahwa mengingat adalah cara yang lebih baik untuk menghadapi masa lalu yang menyakitkan daripada melupakannya.

Sadar bahwa ingatan-ingatan ini tidak dapat dielakkan lagi, pemerintah di berbagai dunia mulai menyelesaikan sejarah kelam mereka, baik dalam negeri sendiri, maupun dengan negara lain, melalui pendirian berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Afrika Selatan telah mendirikan Truth and Reconciliation Commission untuk membangun cerita kekerasan yang terjadi di masa pemerintahan apartheid. Tujuan komisi ini adalah untuk membantu rakyat Afrika Selatan berdamai dengan masa lalunya dan maju menuju masa depan sebagai sebuah bangsa.

Australia telah menetapkan 26 Mei sebagai Hari Maaf Nasional terhadap orang Aborigin sebagai usaha mendekatkan mereka dengan penduduk asli benua tersebut. Penelitian besar juga telah dilakukan setelah pembantaian orang Yahudi di masa Hitler sebagai usaha pembelajaran agar kejadian yang sama tidak terjadi lagi di masa depan. Tujuan mengingat dalam ketiga kasus ini berbeda, namun mereka sama-sama tidak mau melupakan hal menyakitkan yang pernah terjadi.

Belanda telah memulai sebuah langkah maju dalam proses penyelesaian ingatan yang menyakitkan bagi kedua negara. Langkah yang lambat ini perlu kita apresiasi dan juga tiru. Bagaimana dengan berbagai ingatan menyakitkan akibat konflik komunal di Indonesia sendiri; atau antara Indonesia dengan Timor Timur? Banyak konflik di Indonesia diselesaikan dengan cara dilupakan dan sering kembali menghantui ketika konflik lain muncul. Apakah memang berbagai konflik yang terjadi di Indonesia membutuhkan waktu selama waktu yang dibutuhkan Belanda untuk menyatakan permintaan maafnya kepada kita?

Mari berharap bahwa bangsa Indonesia siap untuk mengingat dan meminta maaf kepada semua korban ketidakadilan dan memberi kompensasi. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

 

Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home