Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 06:37 WIB | Sabtu, 26 Desember 2015

Pendeta GPIB Immanuel Sebut Konservasi Gereja Dalam Doa Syafaat

Pendeta GPIB Immanuel Sebut Konservasi Gereja Dalam Doa Syafaat
Gereja Immanuel tampak depan di Jakarta Pusat. (Foto-foto: Diah A.R)
Pendeta GPIB Immanuel Sebut Konservasi Gereja Dalam Doa Syafaat
Salah satu bagian atap Gereja Immanuel yang tak terawat.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta GPIB Immanuel Denny Matulapelwa sempat menyisipkan soal konservasi gereja dalam doa syafaat yang diungkapkan pada ibadah malam Natal hari Kamis (24/12).

“Tuhan, sekiranya kami dapat melakukan konservasi gereja yang sudah berumur 176 tahun,” kata Denny.

Kepada satuharapan.com, Denny mengatakan pihak gereja sudah berupaya untuk mengajukan proposal konservasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 namun belum mendapatkan persetujuan. Dia berharap tahun 2016, pengajuan konservasi gedung gereja ini dapat disetujui.

“Mudah-mudahan tahun 2016 bisa disetujui,” kata dia.

Disarikan dari wikipedia, Gereja Immanuel awalnya adalah gereja yang dibangun atas dasar kesepakan antara umat Reformasi dan Umat Lutheran di Jakarta (dulu Batavia).

Pembangunan gereja ini dimulai dari tahun 1834 dengan mengikuti hasil rancangan J.H Horst. Kemudian, pada tanggal 24 Agustus 1835, batu pertama diletakkan dan akhirnya empat tahun kemudian tanggal 24 Agustus 1839 gedung gereja ini selesai dibangun.

Gereja ini juga dibangun atas alasan untuk menghormati Raja Willem I yang merupakan raja Belanda pada periode 1813-1840. Kemudian, pada gedung gereja dicantumkan nama Willemskerk.

Gereja yang sangat kental dengan gaya khas Belanda ini berbentuk melingkar di mana semua arah tertuju pada satu titik yaitu mimbar. Bagian depan gereja dirancang menghadap Stasiun Gambir. Di bagian ini terlihat jelas serambi persegi empat dengan pilar-pilar paladian yang menopang balok mendatar. Paladinisme adalah gaya klasisisme abad ke-18 di Inggris yang menekan simetri dan perbandingan harmonis.

Serambi-serambi di bagian utara dan selatan mengikuti bentuk bundar gereja dengan membentuk dua bundaran konsentrik, yang mengelilingi ruang ibadah. Lewat konstruksi kubah yang cermat, sinar matahari dapat menerangi seluruh ruangan dengan merata. Menara bundar atau lantern yang pendek di atas kubah dihiasi plesteran bunga teratai dengan enam helai daun, simbol Mesir untuk dewi cahaya.

Orgel yang dipakai berangka tahun 1843, hasil buatan J. Datz di negeri Belanda. Sebelum organ terpasang, sebuah band tampil sebagai pengiring perayaan ibadah. Pada 1985, orgel ini dibongkar dan dibersihkan sehingga sampai kini dapat berfungsi dengan baik.

Namun, sayangnya di beberapa sudut gereja ini terlihat minim perawatan. Misalnya, cat di beberapa pilar yang berada di teras gereja sudah mulai terkelupas dan ada beberapa bagian bangunan yang sudah mulai keropos. Rumah laba-laba dan debu tebal dapat terlihat jelas bersarang di bagian atas pilar-pilar yang mungkin tak terjangkau oleh petugas kebersihan di gereja tersebut.

“Gedung gereja ini masuk dalam cagar budaya bangunan yang dilindungi karena merupakan warisan yang tak ternilai harganya dan harus selalu dipelihara dan dipertahankan sesuai aslinya. Untuk memelihara gedung ini istilahnya konservasi. Bukan direnovasi,” kata Denny.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home