Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:40 WIB | Selasa, 16 Desember 2014

Pengamat: Menkumham Tidak Paham UU Partai Politik

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (tengah) didampingi Ditjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan mengenai dualisme kepimpinan Partai Golkar di Jakarta, Selasa (16/12). Menurut Menkumham perselisihan di tubuh DPP Partai Golkar itu harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme internal partai sebelum Kemenkumham menindaklanjuti permohonan perubahan kepengurusan kedua belah pihak. (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA) M Imam Nasef menilai sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly yang belum mau memberi keputusan terkait perubahan susunan kepengurusan Partai Golkar mengindikasikan ketidakpahaman pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (parpol).

“Sikap Menkumham yang belum mengesahkan perubahan kepengurusan Partai Golkar menunjukan bahwa Menkumham tidak memahami UU Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol,” kata Imam dalam pesan singkat yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, Selasa (16/12).

Menurut dia, pernyataan Menkumham yang meminta Partai Golkar menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UU Parpol, tidak tepat. Sebab konflik internal partai berlambang pohon beringin itu tidak termasuk kategori perselisihan kepengurusan parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Parpol.

“Yang termasuk kategori perselisihan kepengurusan parpol menurut ketentuan Pasal 24 dan 25 UU Parpol adalah yang memenuhi empat unsur,” kata Imam.

Empat Unsur UU Parpol

Menurut dia keempat unsur tersebut adalah, pertama, wujud perselisihan berupa adanya penolakan untuk mengganti kepengurusan, kedua, penolakan pergantian kepengurusan harus disampaikan secara resmi dalam musyawarah nasional (munas), ketiga, subyek yang mengajukan penolakan harus anggota parpol yang menjadi peserta munas, dan terakhir, penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari minimal 2/3 peserta munas.

“Empat unsur itu tidak terpenuhi pada kasus Golkar, terbukti pada saat Munas IX Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, tidak ada penolakan dari 2/3 peserta Munas,” kata dia.

“Oleh karena itu, pelaksanaan Munas IX Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, sama sekali tidak menimbulkan perselisihan kepengurusan partai Golkar,” Imam menambahkan.

Berdasarkan hal tersebut, lanjut dia, secara yuridis  yang seharusnya dilakukan Menkumham dalam menyikapi kasus Partai Golkar sudah sangat terang benderang. Menkumham pun tidak bisa ‘mangkir' dari kewenangan untuk mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai pengesahan perubahan kepengurusan parpol.

“Mangkirnya Menkumham untuk melaksanakan kewenangan itu justru mengindikasikan adanya upaya politisasi terhadap kasus Partai Golkar. Sebagai institusi negara sebaiknya Menkumham menjauhkan diri dari unsur politis, segala sikap tindaknya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Pengamat Hukum Tata Negara dari SIGMA itu.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home