Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:45 WIB | Rabu, 20 Januari 2016

Pengamat: Revisi UU Terorisme Tanpa Revolusi Mental Percuma

Ilustrasi. Terduga teroris, pelaku serangan tembakan di Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (14/1). (Foto: Xinhua/Veri Sanovri)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Heru Susetyo, menilai kelemahanan penanganan masalah terorisme di Indonesia terletak pada implementasi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan masalah terorisme, seperti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau membuat UU terorisme baru. Karena, regulasi yang berkaitan dengan masalah terorisme di Indonesia telah cukup baik, tinggal pengimplementasiannya saja.

“Revisi, keluarkan perppu, atau membuat UU terorisme baru tidak perlu. UU yang ada sudah cukup mumpuni. Misalnya, untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen (Pasal 26), artinya tinggal bagaimana aparat kepolisian mengimplementasikan UU ini,” kata Heru saat dihubungi satuharapan.com, dari Jakarta, hari Rabu (20/1).

Menurutnya, pemerintah tidak boleh menyimpulkan regulasi terkait terorisme merupakan sumber kelemahan yang membuat aksi terorisme terjadi di Indonesia. Sebab, perbaikan regulasi tanpa didukung perubahan mental aparat keamanan dan masyarakat dalam menyikapi persoalan terorisme hanya akan menjadi sia-sia.

“Jangan terus berpatokan bahwa kelemahannya ada pada UU. Kalaupun nanti jadi dibuat regulasi baru atau direvisi, tapi mentalitas dan budaya aparat serta masyarakat tidak berubah, akan percuma,” kaa Heru.

Dia pun melihat, langkah pemerintah mewacanakan perbaikan regulasi terkait masalah terorisme sebagai bentuk sebuah kepanikan. Heru mempertanyakan, mengapa pemikiran perbaikan regulasi itu dikeluarkan setelah serangan terorisme di Kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, hari Kamis (14/1) lalu.

Padahal, dia lanjut mempertanyakan, sejumlah kasus terorisme yang lebih mengerikan menyerang beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, atau di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

“Ini pemerintah panik, karena terjadinya di Kota Jakarta, dekat dengan pengamanan ring satu lagi. Kenapa wacana perbaikan regulasi terkait terorisme itu tidak lahir ketika ada kejadian di Poso dan Sumbawa? Ini terlalu reaktif,” tutur Heru.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, masih mengkaji tiga opsi dalam penguatan regulasi terkait terorisme. Setelah sebelumnya mewacanakan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kini Presiden Jokowi  mempertimbangkan pembuatan UU baru mengenai pencegahan terorisme.

"Ada beberapa alternatif yang saat ini belum diputuskan. Masih dalam proses semuanya. Bisa nanti revisi UU, bisa nanti buat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), bisa nanti membuat undang-undang baru mengenai pencegahan," kata Presiden Jokowi kepada sejumlah wartawan di Kompleks Istana Preiden, Jakarta Pusat, hari Rabu (20/1).

Menurutnya, pemerintah dan seluruh lembaga tinggi negara termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah sepakat perlu penguatan regulasi terkait terorisme. Namun, hingga saat ini, kata Presiden Jokowi, pemerintah masih terus mendalami opsi terbaik dari tiga pilihan yang ada.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home