Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 11:29 WIB | Kamis, 27 Juni 2013

Penyiksaan dan Kesewenang-wenangan Masih Terus Terjadi dalam Penegakan Hukum

(Foto totokyuliyanto.wordpress.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktik penyiksaan masih menjadi salah satu bagian dalam proses penegakan hukum yang sulit dilepaskan aparat penegak hukum di Indonesia. Demikian rilis kelompok kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan, Working Group Against Torture (WGAT), pada hari Rabu bertepatan dengan Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan (26/6).

Tempat-tempat penahanan di kepolisian maupun lembaga pemasyarakatan seolah menjadi kuburan bagi tahanan dan narapidana.

Pemerintahan SBY dinilai tidak mampu memperbaiki sistem perlindungan bagi masyarakat, tahanan, dan narapidana menyebabkan maraknya kasus-kasus penyiksaan. Kematian tahanan dan narapidana makin sering terjadi di pelbagai tempat penahanan. Padahal, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, merendahkan martabat, dan penghukuman yang kejam merupakan hak asasi manusia yang secara jelas dan tegas dijamin UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan,  dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang paling banyak dilakukan anggota kepolisian pada saat proses penangkapan dan pemeriksaan awal. Selain polisi, petugas lembaga pemasyarakatan atau sipir juga merupakan pihak yang paling bertanggungjawab untuk kasus-kasus kematian di lembaga pemasyarakatan.

Permasalahan ini terus muncul dan terjadi karena pelaku-pelaku penyiksaan tidak dihukum setimpal dengan proses jalur hukum yang adil dan transparan. Sebagian besar korban penyiksaan adalah mereka yang miskin secara ekonomi dan  buta hukum, sehingga masih ada rasa takut bagi korban atau keluarganya untuk menyampaikan laporan.

Berdasarkan catatan ELSAM, praktik penyiksaan di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 tercatat 19 kasus penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, sementara  pada tahun 2012 meningkat  menjadi 83 kasus. Sedangkan periode Januari-Mei 2013 saja telah terjadi 19 kasus.

CDS (Center for Detention Studies) melaporkan angka kematian narapidana dan tahanan di penjara dan tempat tahanan, pada tahun 2011, 552 orang meninggal; pada tahun 2012, 506 orang meninggal; dan pada Januari–Maret 2013, 169 orang meninggal.  Penyebab  kematian tersebut beragam, dari sakit HIV/AIDS, TBC, serangan jantung,  penyakit pernafasan, bunuh diri, hingga kematian akibat perkelahian. Data tersebut hanya yang terdapat di lembaga pemasyarakatan saja, sedangkan mereka yang meninggal di tahanan kepolisian serta tempat tahanan militer, belum bisa diakses. Selain itu, belum ada upaya yang cukup untuk mencari penyebab kematian sesungguhnya, seperti adanya upaya pemeriksaan atau otopsi untuk kasus bunuh diri, perkelahian, gangguan jantung serta gangguan pernafasan. Pemeriksaan lebih lanjut itu untuk melihat dugaan terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang.

Kasus-kasus penyiksaan dan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat tersebut seharusnya tidak terjadi apabila Pemerintahan SBY secara tegas melaksanakan Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang  (UNCAT)  yang sudah diratifikasi melalui UU No. 5 tahun  1998 tentang Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan. Berdasarkan Konvensi tersebut, Pemerintah  memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah penting dan berarti untuk menghentikan praktik-praktik penyiksaan.

Kondisi di dalam tahanan, serta penyebab kematian tahanan dan narapidana dapat dengan cepat diketahui, dan upaya-upaya perbaikan dapat terus dilakukan jika mekanisme kunjungan-kunjungan ke tempat tahanan dapat dilakukan badan-badan independen, seperti Komnas HAM dan lembaga-lembaga pengawas lainnya secara rutin ataupun mendadak. Hal ini telah diatur lebih lanjut dalam Protokol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang. Tetapi protokol itu hingga saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Berkaitan dengan hal itu, WGAT menyerukan kepada Presiden SBY untuk menghentikan praktik-praktik penyiksaan dan melakukan sejumlah langkah.

Pertama, segera  meratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang.

Kedua,  meminta Presiden SBY memerintahkan kepada Menteri Hukum dan HAM, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Jaksa Agung untuk memperbaiki fasilitas dan sistem pengawasan tempat-tempat penahanan yang berada di bawah kekuasaan dan kewenangannnya;

Ketiga, meminta Presiden SBY membentuk, merancang atau melanjutkan fungsi pemantauan tempat-tempat penahanan guna mencegah kasus-kasus penyiksaan, kematian ataupun kasus-kasus pengurangan, pembatasan maupun penghilangan hak-hak tahanan maupun narapidana. Tempat-tempat penahanan yang dimaksud tidak terbatas pada tempat-tempat penahanan yang terkait dengan sistem peradilan pidana, melainkan juga penahanan administratif seperti rumah detensi imigrasi, tempat penahanan Satpol PP, tempat rehabilitasi, rumah sakit jiwa, panti tuna susila, panti asuhan, kendaraan tahanan, serta tempat rehabilitasi narkotika.

Keempat, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan mengubah pendekatan dalam menangani perkara-perkara kriminal. Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan tidak lagi menjadikan penahanan sebagai satu-satunya cara dalam memproses suatu perkara kriminal.

Kelima, Kementerian Hukum dan HAM dan Kepolisian Republik Indonesia memberikan pelatihan kepada anggota dan petugasnya mengenai pengelolaan tempat-tempat penahanan.

Keenam, Kementerian Hukum dan HAM dan Kepolisian Republik Indonesia memberikan akses yang luas kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk mengunjungi dan melakukan monitoring terhadap tempat-tempat penahanan yang ada di Indonesia.

Ketujuh, Komisi Ombudsman, KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan meningkatkan kuantitas dan kualitas pemantauan terhadap tempat-tempat penahanan yang ada di Indonesia.

WGAT merupakan gabungan pelbagai organisasi seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Center for Detention Studies (CDS), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Koalisi Perempuan Indonesia, Arus Pelangi, dan Human Rights Working Group (HRWG).

Editor : Yan Chrisna


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home