Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 19:26 WIB | Senin, 26 Mei 2014

Pepabri Didesak Buka Dokumen Pemecatan Prabowo dari Militer

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi (kedua dari kiri), Maria Katarina Sumarsih (ketiga dari kiri), Ruyati Darwin (keempat dari kiri), Koordinator Kontras, Haris Azhar (paling kanan). (Foto: kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi mendesak Persatuan Purnawirawan ABRI dan TNI Polri (Pepabri) membuka dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang berisi keterangan hal pemecatan Prabowo Subianto dari militer, sejak mencuatnya peristiwa Mei 98.

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Setara Institute, Kontras, Imparsial, YLBHI, ICW, Elsam, dan lainnya yang tergabung dalam Koalisi Menolak Lupa dan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebelumnya dijadwalkan bertemu dengan Agum Gumelar, bertempat di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pepabri, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/5).

Akan tetapi, Koordinator Kontras, Haris Azhar menyesalkan bahwa Agum Gumelar selaku pimpinan Pepabri yang dijadwalkan bertemu dengan perwakilan LSM ini, tidak dapat hadir dengan alasan teknis dan politis.

“Agum diketahui pernah mengundang salah satu calon presiden (capres), Prabowo Subianto, terkait pernyataan kesediaannya untuk diklarifikasi soal peristiwa Mei 98. Tujuan kami ingin memastikan kepada Pak Agum, sebagai salah satu mantan anggota DKP, terkait dengan keputusan yang dibuatnya terhadap Prabowo, karena ini menyangkut persyaratan untuk maju sebagai capres di Komisi Pemilihan Umum (KPU),” urai Haris.  

Rekomendasi Sidang DKP

Lebih lanjut Hendardi menambahkan, koalisi tersebut berkepentingan untuk mendesak agar dokumen DKP tersebut dibuka kembali, mengingat realitas politik bahwa Prabowo sendiri sudah mencalonkan diri sebagai capres. Sidang DKP dikatakan telah merekomendasikan untuk dilakukan peradilan militer kepada Prabowo, tapi tidak dilakukan sampai detik ini.

“Kita akan punya panglima tertinggi ABRI atau TNI yang berada di bawah kewenangannya apabila Prabowo terpilih nantinya. Bagaimana seorang tentara yang yang sudah dipecat bisa menjadi panglima tertinggi TNI nantinya. Tadinya itu yang hendak kita diskusikan dengan Pak Agum,” cetus Hendardi.

“Menjadi capres atau tidaknya tetap urusan KPU, tapi saya tidak mau punya presiden yang masih gelap latar belakang masa lalunya,” dia menambahkan.

Saat ini dokumen-dokumen tentang DKP memang tidak ada di organisasi Pepabri, tetapi ada di Mabes TNI. Koalisi tersebut memastikan juga dalam waktu dekat ini akan mendatangi Mabes TNI.

Prabowo Belum Diadili

Sebelumnya terdapat pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon bahwa Prabowo yang pada peristiwa Mei 98 menjabat sebagai Danjen Kopassus  itu, tidak terbukti terlibat baik dalam pembunuhan maupun penculikan. Akan tetapi hal itu disanggah oleh Hendardi.

“Biar saja siapapun bicara demikian, tetapi perlu kita tahu, dengan adanya sidang DKP itu, terbukti bahwa Prabowo telah direkomendasikan untuk diberhentikan, dengan kata lain dipecat. Prabowo belum terbukti, karena memang belum diadili, tetapi bukan berarti selesai, ingat bedanya selesai dengan belum diadili,” tegas Hendardi.

Dia mengklaim, bahwa pidana yang belum terlaksana sampai saat ini, belum diproses hukum, karena faktor politik, yaitu kebetulan mertua Prabowo adalah Soeharto, Presiden RI pada saat itu.

Selain itu, soal Kivlan Zein sebagai salah satu anggota Pepabri. Kivlan telah memberikan keterangan tentang 13 orang yang masih hilang. Menurut Hendardi, hal tersebut bukan soal penculikan atau penghilangan paksa, bukan sekedar penyelesaian penegakkan hukum, tetapi juga hak para korban untuk tahu.

“Diharapkan Kivlan mau memberikan penjelasan di media. Dengan demikian diharapkan juga ada semacam fakta hukum baru yang ditujukan untuk menemukan para korban itu,” ucap Hendardi.

Dia juga mendesak, kepada Komnas HAM agar menjelaskan kepada publik sejauh mana pemanggilan Kivlan Zein itu berjalan, pasalnya sampai sekarang belum jelas hasil kinerjanya.

“Kepada Komnas HAM, jangan karena kita semua diam, mereka tidak serius bekerjanya. Kami berkepentingan untuk mendesak Komnas HAM, bila perlu saat ini kami akan datangi,” tandas Hendardi.

Kecewa Agum Gumelar Tidak Datang

Dalam kesempatan tersebut turut hadir pula Ibu Ruyati Darwin, yang anaknya merupakan korban peristiwa Mei 98.

“Sebagai keluarga korban kami merasa kecewa karena tadinya kami berpikir Pak Agum Gumelar berkenan menerima kami, tetapi ternyata beliau tidak dapat hadir,” kata wanita paruh baya yang disapa Ibu Ati itu.

Kami menginginkan masa depan Indonesia yang lebih baik, maka kasus HAM harus segera diselesaikan, jangan sampai nantinya ada anggapan kami hanya mengada-ada, suara kami hanya lima tahun sekali (saat Pemilu, Red). Padahal, setiap saat kami selalu ingin memperjuangkan agar negara segera mempertanggungjawabkan kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM, sebagaimana dituturkan Ruyati.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home