Loading...
OPINI
Penulis: Dwilia Delfi Ningsih 00:00 WIB | Kamis, 21 Mei 2015

Perempuan dan Ilusi Keadilan

SATUHARAPAN.COM – Pada saat ini, diskriminasi terhadap perempuan masih sangat sering terjadi. Diskriminasi terhadap perempuan tersebut dialami dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk sebagian masyarakat, hak-hak perempyan hanya semata-mata dilihat sebagai sejumlah hak yang khusus, yang diperjuangkan oleh kaum untuk memperbaiki nasibnya sendiri.

Ketika kecil, saya sebagai perempuan merasakan bagaimana perlakuan yang sangat diskriminatif dan tak adil dari tradisi yang dibangun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar saya. Perempuan selalu diperlakukan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki. Perempuan boleh sekolah, jika saudara laki-lakinya juga sekolah, dan tidak berlaku sebaliknya. Bahkan, jika biaya yang dimiliki oleh satu keluarga hanya cukup untuk satu orang, bisa dipastikan laki-lakilah yang akan mendapatkan prioritas menggunakan biaya tersebut.

Di ruang publik juga berlaku perlakuan yang sama, jika laki-laki bebas bermain maka perempuan dibatasi hingga jam-jam tertentu. Implikasinya, tradisi itu membuat ruang publik menjadi tidak ramah bagi perempuan, perempuan yang berkeliaran di ruang publik dianggap tidak etis dan layak, hal itu hingga kini masih mentradisi di daerah-daerah pedesaan di Indonesia.

Hegemoni laki-laki terhadap perempuan ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun, bahkan dilegitimasi secara masif lewat berbagai karya-karya besar seperti buku-buku dan berbagai tafsir kitab suci hampir seluruh agama yang didominasi dan dikuasai oleh para laki-laki. 

Perjuangan para perempuan untuk mendapat perlakuan setara dianggap sebagai melawan takdir dan kodratnya sebagai perempuan, melawan ajaran suci agama, dan ironisnya ikut diaminkan oleh sebagian besar perempuan. 

Hingga kini, masyarakat kita belum bisa membedakan mana kodrat yang melekat pada perempuan dan tak bisa ditolak, dan mana yang bukan kodrat yang sebenarnya bangunan tradisi yang dipaksakan melekat pada perempuan. Sebagai seorang guru di sebuah daerah terpencil saya membuktikan bahwa saya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dikesankan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Mengendarai sepeda motor dengan waktu tempuh empat jam, melewati jalanan berbatu yang licin dan terjal, naik-turun gunung yang kanan kirinya jurang yang dalam. Hal ini penting saya ungkapkan, untuk membuktikan bahwa keperkasaan, ketangguhan, dan hal-hal yang sering diidentiikan sebagai sesuatu yang maskulin bukanlah monopoli laki-laki, begitupun sebaliknya kelemah-lembutan, penyayang, manja yang sering diidentikan sebagai sifat feminim juga bisa melekat pada laku laki-laki.

Jika realitasnya seperti itu, maka layaklah mengajukan pertanyaan kenapa pendidikan dan ruang publik seolah menjadi milik laki-laki? Pendidikan yang dikuasai laki-laki sejak ratusan tahun, telah menjadikan banyak perempuan tertinggal, terlihat bodoh yang akhirnya berimpikasi tidak siapnya perempuan berkompetisi di wilayah publik sehingga memerlukan regulasi yang mengafirmasi partisipasi perempuan.

Regulasi yang mengafirmasi keterlibatan perempuan pada posisi strategis di wilayah politik dan kekuasaan ibarat pisau bermata dua, di satu sisi diperlukan untuk mendorong aktifnya perempuan dalam menentukan kebijakan yang berpihak pada kaumnya, di sisi lain seolah menegaskan ketakberdayaan perempuan sehingga diperlukan pasal-pasal khusus untuk membantunya.

Memang, ruang-ruang kelas kini telah disesaki oleh para perempuan dan ruang-ruang publik telah dijejali oleh aktifitas-aktifitas yang akrab dengan perempuan, tapi kultur, tradisi dan doktrinnya tetap sama, laki-laki adalah sebagai pemilik sah semuanya, sehingga doktrin yang disesakkan adalah haram dan tabu jika perempuan melampui kaum laki-laki.

 

Dus, untuk menghentikan ketakadilan dan aksi tipu-tipu yang seolah-olah adil perempuan selain yang telah banyak dilakukan oleh gerakan perempuan melalui pendidikan dan kampanye, juga diperlukan sebuah revolusi mental dan sikap yang tegas, perempuan harus melepaskan dirinya untuk dimiliki oleh laki-laki. 

 

Di sekolah-sekolah, memang banyak perempuan yang telah menjadi guru bahkan lebih banyak jumlahnya dari laki-laki, tetapi siapa kepala sekolahnya, siapa yang memiliki otoritas penuh atas kebijakan-kebijakan sekolah, jawabannya tetap laki-laki, siapa yang mengatur kelas, siapa yang menjadi ketua kelas, jawabannya mayoritas adalah murid laki-laki. Begitulah tradisi dan budaya itu terus menerus diwariskan.

Data Komnas Perempuan, sejak tahun 2012 tidak ada tren penurunan kekerasan terhadap perempuan, dan ironisnya justeru terbanyak dilakukan oleh keluarga terdekat, sementara itu regulasi daerah (Perda) sebanyak lebih dari 200 perda sengaja dibuat diskriminatif dan tak adil perempuan.

Berbagai hal formal dibuat untuk mengelabui kaum perempuan, seolah-olah semua kebijakan telah berpihak dan mengakomodir kelompok perempuan untuk hidup berdampingan dengan laki-laki secara setara. Perempuan ditipu dengan basa-basi rutinitas formal yang seolah menghargai perempuan, padahal di sisi lain kebijakan diskriminatif-dzolim dan tak adil terus didesakkan.

Gerakan Feminisme sendiri dalam sejarah perjalanannya selalu memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan lelaki saja, melainkan perjungan untuk transformasi sistem dan struktur yang tak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Upaya dunia internasional sendiri dalam memperjuangkan hak-hak perempuan bisa dilihat dari dibentuknya berbagai konvensi yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.

Dus, untuk menghentikan ketakadilan dan aksi tipu-tipu yang seolah-olah adil perempuan selain yang telah banyak dilakukan oleh gerakan perempuan melalui pendidikan dan kampanye, juga diperlukan sebuah revolusi mental dan sikap yang tegas, perempuan harus melepaskan dirinya untuk dimiliki oleh laki-laki. 

Pemodal yang sering mengeksploitasi kecantikan dan seksualitas perempuan harus diberikan hukuman yang tegas, regulasi harus dibuat untuk memberikan kemerdekaan terhadap perempuan menguasai dirinya sendiri, bukan hanya sekedar mengafirmasi seolah-olah telah memperjuangkan dan berpihak kepada perempuan.

Alasan mutualisme-simbiosis antara perempuan dan pemodal hanyalah pembenaran yang akan semakin mengukuhkan tradisi dan menegaskan wajah bengis laki-laki. Perempuan bukanlah pencari nafkah kedua di rumah tangga, perempuan harus berani keluar dari kungkungan budaya patriarkhi .

 

Penulis adalah Guru SD Terpencil di Kelumbayan, Pegiat Majelis Kamisan Cangkir


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home