Loading...
INDONESIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 13:12 WIB | Sabtu, 04 April 2015

Belajar Kesetaraan Gender Melalui Sekolah Perempuan

Belajar Kesetaraan Gender Melalui Sekolah Perempuan
Ibu-ibu dari Sekolah Perempuan di wilayah Bidara Cina, Rawajati, dan Jatinegara Kaum, sedang mendengarkan fasilitator dalam Training Penguatan Kapasitas Tim Pemantau Komunitas untuk Pengumpulan Data di Wisma Hijau Bogor, Selasa (31/3). (Foto-foto: Diah A.R)
Belajar Kesetaraan Gender Melalui Sekolah Perempuan
Kelompok Sekolah Perempuan dari Jatinegara Kaum sedang mempraktikkan metode pemetaan partisipatif.
Belajar Kesetaraan Gender Melalui Sekolah Perempuan
Seorang ibu sedang melakukan presentasi.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekolah Perempuan yang digagas oleh Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) dirasakan sangat bermanfaat bagi ibu rumah tangga yang berada di kawasan Rawajati, Bidara Cina dan Jatinegara Kaum.

Sekolah Perempuan merupakan pendidikan untuk kaum perempuan dengan pembekalan berbasis keadilan gender. Dalam kegiatan ini perempuan yang biasanya hanya mengurus suami, anak, dan rumah, diajak untuk berdiskusi, berpikir kreatif, dan bisa mengambil keputusan.

Salah satunya adalah ibu rumah tangga dari Bidara Cina Jakarta Timur, Ning Setiyani, yang sudah mengikuti Sekolah Perempuan sejak November 2013.

Kepada satuharapan.com Ning mengatakan bahwa setelah mengikuti Sekolah Perempuan, dia merasakan banyak sekali manfaatnya.

“Dari diri pribadi saya yang tadinya tidak mengerti apa-apa, hanya mengurus rumah tangga, minder, dan tidak bisa bergaul, namun dengan hadirnya Sekolah Perempuan ini menambah teman, ilmu, wawasan, dan kami belajar tentang keadilan gender yang dapat kami terapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ning dalam Training Penguatan Kapasitas Tim Pemantau Komunitas untuk Pengumpulan Data di Wisma Hijau Bogor, Selasa (31/3).

Ning juga menerapkan pendidikan kesetaraan gender di keluarganya yang dia dapatkan dalam kegiatan Sekolah Perempuan. Dia mengaku saat ini keluarganya berjalan lebih demokratis. Misalnya, pengambilan keputusan tidak hanya dibebankan kepada suami tapi istri juga bisa dan saat ini sudah bisa berbagi peran di dalam pekerjaan rumah tangga antara ayah, anak laki-laki dan perempuan.

“Biasanya laki-laki tidak boleh menyapu, mengepel lantai. Tapi sekarang tidak lagi. Masing-masing anak laki-laki dan perempuan memiliki peran dalam pekerjaan rumah sehingga semua saling membantu. Begitu pula dengan suami. Ketika hari Minggu biasanya suami ada di rumah, dia membantu saya mencuci baju, nanti saya menyeterika dan masak. Semua berbagi peran.”

Ketika Ning mengikuti Sekolah Perempuan, suaminya sempat khawatir bahwa kelak dia akan melawan atau tidak patuh lagi kepada suami. Namun, seiring berjalannya waktu, Ning menjelaskan kesetaraan gender itu tidak untuk melawan suami melainkan untuk memahami apa yang menjadi hak seorang perempuan sebagai warga negara, khususnya dalam perlindungan sosial. Akhirnya setelah mendapatkan pengertian, suami memberikan izin untuk ikut kegiatan Sekolah Perempuan.

Ning berharap melalui Sekolah Perempuan, perempuan bisa berpikir lebih kritis dan bisa lebih memajukan dan mengembangkan perempuan yang sudah mengenal kesetaraan gender di beberapa daerah khususnya di Bidara Cina.

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home