Loading...
OPINI
Penulis: Nova Yulanda Putri Sipahutar 00:00 WIB | Kamis, 14 Mei 2015

Perjuangan Perempuan Rembang

SATUHARAPAN.COM – Kota Rembang awalnya dikenal karena pemikiran pembebasan yang ditulis Kartini. Meskipun raga Kartini dipingit dalam sekat-sekat tembok, tetapi pemikirannya bebas melanglangbuana melintasi samudera.

Sekarang Rembang menjadi trending topic di media sosial karena perlawanan penduduk pada pabrik semen. Sejak Mei 2014, perlawanan dilakukan oleh petani-petani dan masyarakat Samin di Pati dan Rembang, Jawa Tengah. Sudah hampir satu tahun perjuangan itu mereka lakukan. 

Alasan penolakan ini karena mengganggu ketersediaan air untuk pertanian di sana. Karst di pegunungan Kendeng merupakan sumber pengairan untuk pertanian produktif. Di wilayah Rembang, air tersimpan di cekungan watuputih. Air tanah di cekungan ini tidak hanya memiliki utilitas ekonomis, tetapi juga ekologis. 

Yang menarik, perjuangan penolakan pabrik semen ini secara artikulatif dilakukan oleh perempuan. Laki-laki mengambil bagian di balik layar untuk mendukung perempuan-perempuannya. Peran domestik yang biasanya dilakukan oleh perempuan kali ini digantikan laki-laki. Perempuan Rembang yang menolak pabrik semen harus berkemah, kemudian berangkat ke Jakarta untuk menyuarakan hak mereka ke istana Presiden, sampai mengajukan tuntutan ke pengadilan Tata Usaha Negara.

Iming-iming penyediaan lapangan pekerjaan pasti dilontarkan untuk menarik dukungan masyarakat sekitar agar aktivitas pabrik semen berjalan lancar. Tetapi lapangan pekerjaan yang sesaat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang panjang. Masyarakat sekitar juga hanya mendapatkan tetesan rupiah. Berkarung-karung rupiah pasti akan masuk ke brankas pemilik modal.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa motif ekonomi dan pembangunan menjadi upaya melegalkan terhadap kerusakan lingkungan. Pengalihan kepentingan alam ke dalam ekonomi pasar mengakibatkan kelangkaan sumber daya alam yang bermanfaat pada ekologi serta menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan baru bagi semua orang, khususnya perempuan dan anak-anak. Perempuan yang tidak memiliki daya beli tentu sangat tinggi ketergantungannya terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan primernya dan keluarganya. Jika alam sudah rusak maka banyak kebutuhan hidup tidak dapat dipenuhi.

Hubungan saling tergantung antara perempuan dan alam sangat tinggi. Bukan sekadar ketergantungan ekonomi. Peran domestik yang sampai saat ini masih banyak dikerjakan oleh perempuan dan kebutuhan kodrati perempuan adalah alasan perempuan membutuhkan lingkungan hidup yang berkualitas. Perempuan yang sudah akil balig mengalami menstruasi tentu membutuhkan air dalam jumlah yang lebih banyak, begitu juga ketika melahirkan. Kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti mencuci pakaian dan piring, untuk memasak, menyiapkan air untuk mandi bagi anak-anaknya. 

Masyarakat sekitar yang berada di pegunungan Kendeng ini tidak mengambil dengan serakah. Mereka sadar, keserakahan manusialah yang merusak alam. Tetapi bukan sekedar alasan ekonomi dan ekologis belaka yang membuat mereka tidak merusak alam. Bumi merupakan ibu. Ibu yang memberikan kehidupan bagi mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat Kendeng, terutama kaum perempuannya, mereka tidak mau "Ibu" mereka diperkosa oleh modal, terluka karena alat-alat berat.

Gerakan Perempuan yang melawan kapital juga dilakukan  Aleta Baun dan rekan-rekannya di pulau Timor, NTT. Dia melakukan gerakan untuk melindungi gunung Mutis, Molo, yang hendak dikuasai oleh dua perusahaan tambang. Gunung Mutis ini adalah sumber air bagi masyarakat untuk air minum dan juga irigasi. Selain itu, di pegunungan Mutis ini masyarakat Molo menggantungkan hidup untuk kebutuhan makanan sampai kebutuhan untuk menenun kain. Perlawanan yang dilakukan Aleta bersama masyarakat adalah perlawanan yang tidak menggunakan kekerasan. Perlawanan itu mereka sebut “protes sambil menenun” ketika berusaha menduduki wilayah yang akan dijadikan daerah pertambangan. Protes sambil menenun yang dilakukan Aleta dan rekan-rekannya berbuah manis. Pegunungan Mutis batal ditambang oleh perusahaan.

Perjuangan Kartini seratus sebelas tahun yang lalu tidak berarti meniadakan tantangan yang harus dihadapi perempuan. Kartini mengandung dan melahirkan  semangat pencerahan dan pembebasan  yang (harus) terus diturunkan dari generasi ke generasi. Perempuan Rembang dan Aleta Baun menghidupi semangat itu. Mari kita belajar pada mereka!

 

Penulis adalah Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Masa Bakti 2014-2016


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home