Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 19:01 WIB | Jumat, 28 Oktober 2016

PGI: Indonesia Berhutang Besar pada Pemuda

Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom (kedua dari kanan) di Grha Oikumene PGI lantai 5 Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, hari Jumat (28/10). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, bangsa Indonesia berutang besar pada pemuda. Organisasi kepemudaan Indonesia menggelar Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jakarta melahirkan Sumpah Pemuda sebagai sebuah terobosan besar di tengah kegagalan perjuangan sektarian yang bersifat kedaerahan.

Sumpah Pemuda, kata Gomar, mampu menggerakkan para pemuda untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan memaksa mereka untuk memproklasikan kemerdekaan RI. Sumpah Pemuda menjadi tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ketika perjalanan bangsa ini mengalami stagnan, para pemuda juga yang mempelopori perjuangan untuk keluar dari kemandekan, sebagaimana diperlihatkan pada angkatan kemudian (1966,1979 dan terakhir Reformasi 1998).

“Semua itu memberikan tempat kepada pemuda untuk boleh dikatakan sebagai pelopor, pejuang dan pemikir. Pertanyaanya adalah apakah yang membuat para pemuda tersebut dicatat oleh sejarah sebagai pelopor, pejuang dan pemikir? Jawabannya adalah mereka berusaha menjawab tantangan jamannya,” kata Gomar dalam Simposium menyambut 88 tahun Sumpah Pemuda di Grha Oikumene PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, hari Jumat (28/10).

Pertanyaan berikutnya adalah apa tantangan terkini bangsa ini. Persoalan itu mestinya bisa dijawab agar semakin banyak yang menjadi pelaku sejarah, meneruskan kepeloporan, perjuangan dan pemikiran para pemuda dalam untaian sejarah RI.

Ia menyebutkan, salah satu tantangan jaman bangsa ini adalah semakin terkotak-kotaknya masyarakat oleh pendekatan sektarian, yang justru ditinggalkan oleh para pemuda pada 1928.

“Kita ini makin terhisab ke dalam gettho-gettho keagamaan, dan pemegangan kebenaran kita semata,” kata dia.

Ia menyayangkan, sikap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain makin digandrungi. Padahal, belum tentu kebenaran yang diyakininya tersebut adalah betul-betul benar sesuai fakta yang ada.

“Masing-masing kita menghendaki agar manusia berpihak pada kebenaran yang kita klaim, tetapi belum tentu kita mau berpihak kepada kemanusiaan,” kata dia.

Kalau para pemuda pada 1928 berani meninggalkan pendekatan sektarian kedaerahan dan melepaskan semua klaim-klaim kebenaran sendiri hingga berani memasuki sejarah bersama sebagai satu bangsa, Gomar berharap sudah saatnya negeri ini kembali bangkit dengan berani meninggalkan pendekatan sektarian keagamaan untuk meneruskan sejarah bersama sebagai bangsa Indonesia.

“Hanya dengan melepaskan sekat-sekat keagamaan dan golongan, kita dapat mempertahankan Indonesia yang majemuk berdasarkan Pancasila,” kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home