Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 11:45 WIB | Sabtu, 18 November 2023

PM Israel: Upaya Meminimalkan Korban Sipil “Tidak Berhasil”

Warga Palestina kesulitan menemukan dan memakamkan koran tewas dalam perang Hamas-Israel di Gaza.
Warga Palestina mencari jenazah keluarga Meghari yang tewas setelah seranag Israel di Jalur Gaza di kamp pengungsi Bureij pada 14 November 2023. (Foto: AP/Adel Hana)

YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Israel berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan warga sipil dari bahaya saat mereka memerangi Hamas di Gaza, termasuk menyebarkan selebaran yang memperingatkan mereka untuk melarikan diri, namun upayanya untuk meminimalkan korban jiwa “tidak berhasil”, kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada hari Kamis (16/11).

Netanyahu ditanya oleh stasiun televisi Amerika Serikat, CBS News, apakah pembunuhan ribuan warga Palestina di Gaza yang dilakukan Israel sebagai balasan atas serangan militan Hamas pada 7 Oktober lalu akan memicu kebencian generasi baru.

“Setiap kematian warga sipil adalah sebuah tragedi. Dan kita seharusnya tidak melakukan hal tersebut, karena kita melakukan semua yang kita bisa untuk menyelamatkan warga sipil dari bahaya, sementara Hamas melakukan segalanya untuk menjaga mereka dari bahaya,” kata Netanyahu.

“Jadi, kami kirim selebaran, (kami) telepon mereka lewat ponsel, dan kami bilang: ‘pergi’. Dan banyak yang telah pergi,” kata Netanyahu.

Israel mengatakan tujuan serangan militernya adalah untuk menghancurkan Hamas.

“Hal lain yang bisa saya katakan adalah kami akan berusaha menyelesaikan pekerjaan ini dengan korban sipil yang minimal. Itulah yang kami coba lakukan: meminimalkan korban sipil. Namun sayangnya, kami tidak berhasil.”

Netanyahu kemudian mengatakan dia ingin menarik persamaan dengan sesuatu yang berhubungan dengan Jerman, namun dia disela oleh pewawancara CBS, yang menanyakan pertanyaan tentang keamanan Gaza pasca perang.

Beban Terberat pada Warga Sipil Palestina

Warga sipil Palestina menanggung beban terberat akibat serangan militer Israel selama berminggu-minggu sebagai respons terhadap serangan Hamas yang menurut Israel menewaskan 1.200 orang, sebagian besar warga sipil. Hamas juga menyandera sekitar 240 orang dari berbagai negara sebagai sandera, menurut Israel.

Otoritas kesehatan Gaza yang dianggap dapat diandalkan oleh PBB mengatakan setidaknya 11.500 orang telah dipastikan tewas dalam pemboman dan invasi darat Israel, lebih dari 4.700 di antara mereka adalah anak-anak.

Dua pertiga dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza kehilangan tempat tinggal akibat perang. Pada hari Kamis, angkatan udara Israel menyebarkan selebaran di beberapa bagian selatan Gaza yang meminta masyarakat untuk mengungsi demi keselamatan mereka sendiri.

Israel juga menggunakan selebaran di Gaza utara untuk memperingatkan warga sipil agar pindah. Ratusan ribu orang telah melakukan hal ini, dalam sebuah pengungsian massal yang dikhawatirkan oleh banyak warga Palestina akan menjadi permanen.

Kesulitan Menemukan Korban

Rumah menjadi puing-puing terus berlanjut dari blok ke blok yang hancur. Baunya memuakkan. Setiap hari, ratusan orang menbongkar berton-ton puing dengan sekop dan batang besi serta menggunakan tangan kosong.

Mereka mencari mayat anak-anak mereka. Orang tua mereka. Tetangga mereka. Semuanya tewas dalam serangan rudal Israel. Mayat-mayat itu ada di sana, di suatu tempat di tengah kehancuran yang tak ada habisnya.

Lebih dari lima pekan setelah Israel berperang melawan Hamas, beberapa jalan kini lebih seperti kuburan. Para pejabat di Gaza mengatakan mereka tidak memiliki peralatan, tenaga atau bahan bakar untuk mencari korban yang masih hidup, apalagi yang meninggal.

Hamas, kelompok militan di balik serangan mematikan pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, memiliki banyak basis di lingkungan padat penduduk di Gaza. Israel menargetkan benteng-benteng tersebut.

Namun para korban seringkali adalah warga Palestina, dan banyak di antara mereka yang belum ditemukan.

Omar al-Darawi dan tetangganya telah menghabiskan waktu berminggu-minggu mencari reruntuhan sepasang rumah berlantai empat di Gaza tengah. Empat puluh lima orang tinggal di rumah tersebut; 32 orang tewas. Pada hari-hari pertama setelah serangan itu, 27 mayat ditemukan. Lima orang yang masih hilang adalah sepupu al-Darawi.

Mereka termasuk Amani, seorang ibu rumah tangga berusia 37 tahun yang meninggal bersama suami dan keempat anaknya. Ada Aliaa, 28 tahun, yang merawat orang tuanya yang sudah lanjut usia. Ada lagi Amani yang meninggal bersama putrinya yang berusia 14 tahun. Suaminya dan kelima putranya selamat.

“Situasinya semakin buruk setiap hari,” kata pria berusia 23 tahun yang pernah menjadi mahasiswa jurnalisme di perguruan tinggi tersebut. Baunya sudah tidak tertahankan lagi.

“Kita tidak bisa berhenti,” katanya. “Kami hanya ingin menemukan dan menguburkan mereka” sebelum tubuh mereka hilang di reruntuhan selamanya.

Lebih dari 11.400 warga Palestina telah terbunuh, dua pertiga dari mereka adalah perempuan dan anak di bawah umur, menurut otoritas kesehatan Palestina. Kantor urusan kemanusiaan PBB memperkirakan sekitar 2.700 orang, termasuk 1.500 anak-anak, hilang dan diyakini terkubur di reruntuhan.

Hilangnya mereka menambah penderitaan keluarga Gaza, yang sebagian besar beragama Islam. Islam menyerukan agar orang mati segera dikuburkan, dalam waktu 24 jam jika memungkinkan, dengan jenazah yang dikafani menghadap kota suci Mekah. Secara tradisional, jenazah dimandikan oleh anggota keluarga dengan sabun dan air wangi, dan doa pengampunan dipanjatkan di kuburan.

Pencarian ini sangat sulit dilakukan di Gaza utara, termasuk Kota Gaza, tempat pasukan darat Israel memerangi militan Hamas. Ratusan ribu orang telah melarikan diri ke selatan, ketakutan dengan pertempuran tersebut dan didorong oleh peringatan Israel untuk mengungsi. Namun bahkan di wilayah selatan, serangan udara dan penembakan Israel yang terus berlanjut membuat tidak ada tempat yang aman di wilayah kecil ini.

Departemen Pertahanan Sipil Palestina, pasukan pencarian dan penyelamatan utama di Gaza, telah mencatat lebih dari dua lusin pekerja tewas dan lebih dari 100 orang terluka sejak perang dimulai, kata Mahmoud Bassal, juru bicara departemen tersebut.

Lebih dari separuh kendaraannya kini kehabisan bahan bakar atau rusak akibat serangan, katanya.

Di Gaza tengah, di luar zona pertempuran utara, direktur pertahanan sipil di wilayah tersebut tidak memiliki alat berat yang berfungsi sama sekali, termasuk buldoser dan crane.

“Kami sebenarnya tidak memiliki bahan bakar untuk menjalankan satu-satunya buldoser yang kami miliki,” kata Rami Ali al-Aidei.

Setidaknya diperlukan lima buldoser besar untuk mencari serangkaian bangunan tinggi yang runtuh di kota pesisir Deir al-Balah, katanya.

Ini berarti bahwa jenazah, dan orang-orang yang putus asa mencarinya, bukanlah fokusnya. “Kami memprioritaskan daerah-daerah yang menurut kami akan ada korban selamat,” kata Bassal.

Akibatnya, pencarian jenazah seringkali dilakukan oleh kerabat, atau relawan seperti Bilal Abu Sama, mantan jurnalis lepas.

Dia menyebutkan beberapa korban Deir al-Balah: 10 mayat masih hilang di sisa Masjid al-Salam; dua lusin mayat hilang di rumah yang hancur; 10 hilang dalam serangan masjid lainnya.

“Apakah mayat-mayat itu akan tetap berada di bawah reruntuhan sampai perang berakhir? Oke, kapan perang akan berakhir?” kata Abu Sama, 30 tahun, menggambarkan bagaimana keluarga menggali reruntuhan tanpa alat apa pun. “Mayatnya akan membusuk. Banyak di antaranya sudah membusuk.”

Pada hari Selasa, 28 hari setelah serangan udara meratakan rumahnya, Izzel-Din al-Moghari menemukan mayat sepupunya.

Dua puluh empat orang dari keluarga besarnya tinggal di rumah tersebut, di kamp pengungsi Bureij. Semua kecuali tiga orang tewas. Delapan masih hilang.

Sebuah buldoser pertahanan sipil datang tiga hari setelah serangan untuk membersihkan jalan, kemudian segera berangkat menuju bangunan lain yang runtuh. Buldoser datang lagi pada hari Selasa dan membantu menemukan sepupu al-Moghari.

Setelah menemukan sepupunya, al-Moghari kembali ke reruntuhan untuk mencari ayahnya dan kerabat lainnya.

“Saya tercengang,” katanya. “Apa yang kami alami sungguh tak terlukiskan.”

Gaza telah menjadi tempat di mana banyak keluarga tidak mendapatkan kenyamanan bahkan untuk menghadiri pemakaman.

Al-Darawi, pria yang mencari sepupunya, memahami hal itu. Mereka yang menemukan jenazahnya beruntung,” katanya. (Reuters/AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home