Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 07:45 WIB | Jumat, 03 April 2015

Political Declaration CSW 59, Tidak Ada Negara Capai Kesetaraan Gender

Delegasi Indonesia peserta Sesi 59 Commission on the Status of Women (CSW 59) di Markas Besar PBB New York, yang terdiri dari utusan pemerintah dan aktivis perempuan. (Foto: womenandminority.blogspot.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam Political Declaration yang ditetapkan dalam Commission on the Status of the Women (CSW) 59, hal sangat penting yang menjadi sorotan adalah tidak ada satu negara pun yang telah mencapai kesetaraan gender. Demikian disampaikan oleh Adriana Venny, salah satu pemimpin sementara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), saat pertemuan dengan awak media di Kantor Komnas Perempuan, Kamis (2/4).

“Negara maju sekali pun belum ada, apalagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yang masih banyak persepsi dan interpretasi yang masih mendiskriminasikan perempuan,” papar Venny.

CSW 59 telah diselenggarakan pada 9—20 Maret 2015 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat. CSW merupakan pertemuan antarpemerintah yang dilakukan setiap tahun untuk membahas tentang pencapaian dan tantangan dalam pelaksanaan Landasan Aksi Beijing.

Landasan tersebut terdiri atas 12 aksi bidang kritis, yakni perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan untuk perempuan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam situasi konflik, perempuan dan ekonomi, dan perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan. Selain itu, aksi bidang kritis lainnya meliputi mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan, hal asasi perempuan, perempuan dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, serta anak/remaja perempuan.

Delegasi Republik Indonesia (Delri) yang hadir pada saat itu, selain Komnas Perempuan, datang dari sejumlah Civil Society Organization (CSO), Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan beberapa kementrian terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan. Adapun Ratu Hemas juga turut serta dalam delegasi ini untuk mewakili Dewan Perwakilan Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, datang pula perwakilan dari daerah, yakni Majelis Rakyat Papua (MRP), seperti yang direkomendasikan Komnas Perempuan.

Selain penegasan tidak adanya negara yang telah mencapai kesetaraan gender, Political Declaration menyoroti beberapa hal, antara lain integrasi perspektif gender dalam persiapan, implementasi, dan tindak lanjut dari seluruh konferensi PBB dalam area, kemanusiaan, lingkungan, ekonomi, dan sosial. Namun, Komnas Perempuan menilai, integrasi perspektif gender ini tidak menyentuh area hak asasi manusia, perdamaian, dan keamanan.

Political Declaration juga menyambut kontribusi dari organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi non-pemerintah (NGO), organisasi berbasis komunitas, dan organisasi perempuan dalam implementasi Landasan Aksi Beijing.

Deklarasi ini juga mengakui pentingnya pelibatan penuh laki-laki dan anak laki-laki dalam mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sehingga berkomitmen untuk melibatkan laki-laki dalam upaya mempercepat implementasi Landasan Aksi Beijing. Namun, menurut Komnas Perempuan, pelibatan laki-laki tanpa mempersoalkan tentang patriark akan melahirkan marginalisasi.

Sayangnya, penyusunan Political Declaration merupakan pertemuan tertutup antarnegara  sehingga negosiasi yang dilakukan Perwakilan Tetap Republik Indonesia tanpa didukung koordinasi intensif dengan Delri yang datang.

Hal tersebut menjadi catatan penting bagi Komnas Perempuan, mengingat lembaga ini sudah menjadi bagian dari National Human Rights Institution (NHRI) dan setara dengan kementerian. Komnas Perempuan seharusnya memiliki hak untuk bicara dan bernegosiasi, sehingga kekuatan Indonesia dalam melakukan diplomasi internasional mengenai perempuan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home