Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 13:58 WIB | Rabu, 06 Maret 2024

Prancis Jadi Satu-satunya Yang Eksplisit Menjamin Aborsi sebagai Hak Konstitusional

Perdana Menteri Prancis, Gabriel Attal berpidato pada sidang gabungan pemerintah dan parlemen di Istana Versailes, Prancis barat, hari Senin (4/3). (Foto: AP/Thomas Padilla)

PARIS, SATUHARAPAN.COM-Anggota parlemen Prancis pada hari Senin (4/3) dengan suara bulat menyetujui rancangan undang-undang yang memasukkan hak aborsi ke dalam konstitusi Prancis, menjadikannya satu-satunya negara yang secara eksplisit menjamin hak perempuan untuk mengakhiri kehamilan secara sukarela.

Langkah bersejarah ini diusulkan oleh Presiden Emmanuel Macron sebagai cara untuk mencegah kemunduran hak aborsi yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir, dan pemungutan suara pada sesi gabungan khusus parlemen Prancis mendapat sambutan meriah dari para anggota parlemen.

Langkah tersebut disetujui dalam pemungutan suara 780-72 di Istana Versailles. Aborsi mendapat dukungan luas di Prancis di sebagian besar spektrum politik, dan telah legal sejak tahun 1975.

Banyak legislator perempuan di aula yang tersenyum lebar sambil bersorak. Sementara sekelompok kecil pengunjuk rasa berdiri di luar sidang gabungan, terdapat suasana perayaan yang meriah di seluruh Prancis ketika para aktivis hak-hak perempuan memuji tindakan yang dijanjikan oleh Macron beberapa jam setelah keputusan Dobbs oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 2022.

Keputusan AS telah berdampak pada lanskap politik Eropa, memaksa isu ini kembali menjadi perdebatan publik di beberapa negara pada saat partai-partai nasionalis sayap kanan mulai mendapatkan pengaruhnya.

Kedua majelis di parlemen Prancis, Majelis Nasional dan Senat, secara terpisah telah menyetujui rancangan undang-undang untuk mengubah Pasal 34 Konstitusi Prancis, namun amandemen tersebut memerlukan konfirmasi akhir oleh tiga perlima mayoritas dalam sidang gabungan khusus. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa “undang-undang menentukan kondisi yang menjamin kebebasan perempuan untuk melakukan aborsi.”

Tindakan Prancis ini dipandang sebagai langkah lebih jauh dibandingkan dengan yang terjadi di bekas negara Yugoslavia, yang konstitusinya pada tahun 1974 menyatakan bahwa “seseorang bebas memutuskan untuk memiliki anak.” Yugoslavia bubar pada awal tahun 1990-an, dan semua negara penerusnya telah mengadopsi langkah-langkah serupa dalam konstitusi mereka yang secara hukum mengizinkan perempuan melakukan aborsi, meskipun mereka tidak secara eksplisit menjamin hal tersebut.

Menjelang pemungutan suara, Perdana Menteri Perancis, Gabriel Attal, berpidato di depan lebih dari 900 anggota parlemen yang berkumpul untuk sidang bersama di Versailles, dan meminta mereka untuk menjadikan Prancis sebagai pemimpin dalam hak-hak perempuan dan memberikan contoh bagi negara-negara di seluruh dunia.

“Kami memiliki hutang moral terhadap perempuan,” kata Attal. Dia memberikan penghormatan kepada Simone Veil, seorang legislator terkemuka, mantan menteri kesehatan dan tokoh feminis utama yang pada tahun 1975 memperjuangkan rancangan undang-undang yang mendekriminalisasi aborsi di Prancis.

“Kita mempunyai kesempatan untuk mengubah sejarah,” kata Attal dalam pidatonya yang mengharukan dan penuh tekad. “Buatlah Simone Veil bangga,” katanya yang disambut tepuk tangan meriah.

Tidak ada satupun partai politik besar di Prancis yang mempertanyakan hak aborsi, termasuk partai sayap kanan National Rally pimpinan Marine Le Pen dan Partai Republik yang konservatif.

Le Pen, yang memenangkan rekor jumlah kursi di Majelis Nasional dua tahun lalu, mengatakan pada hari Senin bahwa partainya berencana untuk memberikan suara mendukung RUU tersebut tetapi menambahkan bahwa “tidak perlu menjadikan ini hari bersejarah.”

Sebuah jajag pendapat baru-baru ini menunjukkan dukungan terhadap hak aborsi di kalangan masyarakat Prancis mencapai lebih dari 80%, konsisten dengan survei sebelumnya. Jajag pendapat yang sama juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung dimasukkannya undang-undang tersebut ke dalam konstitusi.

Sekelompok sekitar 200 pengunjuk rasa anti aborsi berkumpul dengan tenang di Versailles menjelang pemungutan suara, beberapa di antara mereka memegang spanduk bertuliskan: ''Saya juga adalah embrio.''

Sejumlah besar aktivis hak-hak perempuan berkumpul di Trocadero Plaza yang menghadap ke Menara Eiffel, meneriakkan kegembiraan saat hasil pemungutan suara diumumkan. Yang lain merayakannya di seluruh Prancis bahkan sebelum sesi gabungan parlemen dimulai.

Sarah Durocher, pemimpin gerakan Keluarga Berencana, mengatakan pemungutan suara pada hari Senin adalah “kemenangan bagi kaum feminis dan kekalahan bagi aktivis anti pilihan.”

“Kami meningkatkan tingkat perlindungan terhadap hak fundamental ini,” kata Anne-Cécile Mailfert dari Women’s Foundation. “Ini adalah jaminan bagi perempuan saat ini dan di masa depan untuk memiliki hak melakukan aborsi di Prancis.”

Pemerintah berpendapat dalam pendahuluan RUU tersebut bahwa hak untuk melakukan aborsi terancam di Amerika Serikat, di mana Mahkamah Agung pada tahun 2022 membatalkan keputusan berusia 50 tahun yang dulunya menjamin hal tersebut.

“Sayangnya, peristiwa ini tidak terjadi sendirian: Di banyak negara, bahkan di Eropa, terdapat aliran opini yang berusaha menghalangi kebebasan perempuan untuk mengakhiri kehamilan jika mereka menginginkannya, dengan cara apa pun,” kata pengantar undang-undang Prancis tersebut.

“Ini mungkin tidak menjadi masalah di Prancis, di mana mayoritas penduduknya mendukung aborsi,” kata Mathilde Philip-Gay, seorang profesor hukum dan spesialis hukum konstitusional Prancis dan Amerika. “Tetapi orang-orang yang sama suatu hari nanti mungkin akan memilih pemerintahan sayap kanan, dan apa yang terjadi di AS dapat terjadi di tempat lain di Eropa, termasuk di Prancis.”

Memasukkan aborsi ke dalam Konstitusi Prancis “akan mempersulit oposisi aborsi masa depan untuk menantang hak-hak ini, namun hal ini tidak akan menghalangi mereka untuk melakukan hal tersebut dalam jangka panjang, dengan strategi politik yang tepat,” tambah Philip-Gay.

“Hanya butuh beberapa saat agar semua yang kita pikir telah kita capai memudar,” kata Yael Braun-Pivet, presiden perempuan pertama di parlemen Prancis, dalam pidatonya di sesi gabungan.

Amandemen konstitusi adalah proses yang melelahkan dan merupakan peristiwa langka di Prancis. Sejak diundangkan pada tahun 1958, Konstitusi Prancis telah mengalami 17 kali amandemen.

Menteri Kehakiman mengatakan amandemen baru tersebut akan secara resmi dimasukkan ke dalam Konstitusi pada upacara publik di Vendome Plaza di Paris pada hari Jumat — Hari Perempuan Internasional. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home