PRPrG: Kembalikan Keluarga Sebagai Gereja Mini!
TELUK DALAM, SATUHARAPAN.COM – Walau didera hujan deras dan angin kencang, Sabtu malam (8/11) Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) Pra-Sidang Raya XVI PGI yang berlangsung sejak Rabu (5/11) resmi ditutup. Acara yang berlangsung meriah sejak pkl. 17:00 itu baru berakhir menjelang pkl. 22:00 malam.
Cukup banyak peserta yang mengeluh karena panjangnya acara penutupan, mulai dari ibadah sampai sambutan dan pergelaran budaya, maupun pemberian trofi bagi pemenang pesta paduan suara yang diikuti sekitar 35 kecamatan di Kabupaten Nias Selatan. Peristiwa PRPrG itu memang mendapat sambutan sangat meriah dari warga pada umumnya. Bahkan sekolah-sekolah diliburkan sepanjang persidangan raya, mengingat cukup banyak guru yang menjadi pandu PRPrG.
Lagi pula, seperti ditegaskan oleh Ketua Umum Panitia Penyelenggara PRPrG, Muniarti Dakhi, maupun jajaran pemerintah lainnya, peristwa akbar itu belum tentu akan berulang lagi di Nias Selatan. “Bisa jadi 100 tahun kemudian pun kita tidak akan menikmati acara ini lagi,” ujarnya.
PRPrG maupun PRPG (Pertemuan Raya Pemuda Gereja) merupakan dua pertemuan raya yang mendahului saat PGI menggelar gawe nasional Sidang Raya setiap lima tahun sekali. Keduanya merupakan forum bersama para perempuan dan pemuda, baik itu aktivis gereja maupun peninjau, serta aktivis sosial di luar gereja. Biasanya, dalam forum-forum itu, beberapa persoalan pokok yang dihadapi kaum perempuan dan pemuda dibicarakan. Rekomendasi mereka akan menjadi bagian dari rekomendasi yang nantinya diputuskan di Sidang Raya.
Salah satu persoalan pokok yang digumuli para perempuan gereja adalah maraknya gerakan-gerakan radikal yang sudah menggelisahkan banyak kalangan. Tema radikalisme, selain kemiskinan, ketidakadilan, dan perusakan ekologi, memang menjadi empat fokus yang akan digumuli selama Sidang Raya berlangsung.
Berhadapan dengan maraknya gerakan-garakan radikal, apa yang dapat dilakukan kaum perempuan gereja? Bagi kaum perempuan, mereka melihat salah satu akar masalah mengapa gerakan radikal kini marak, adalah makin hilangnya kehangatan dalam keluarga. Seorang pendeta perempuan mengemukakan, ada hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa 60 persen mereka yang bergabung dengan gerakan radikal, pada masa kecilnya, kurang mengalami kehangatan keluarga, termasuk sentuhan dan pelukan dari ayah-ibu.
Begitu juga, sudah banyak penelitian memperlihatkan, umumnya anak-anak muda yang “dijaring” untuk menjadi pengikut gerakan radikal berasal dari mereka yang tinggal jauh dari keluarga saat melanjutkan studi. Kerentanan itu dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal dengan memberi mereka rasa nyaman, lalu diam-diam “mencuci otak” mereka dengan paham-paham keagamaan yang radikal dan intoleran.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Biro Litkom-PGI juga dapat disimpulkan, pengaruh paling penting dari sosialisasi nilai-nilai keagamaan datang dari keluarga. Dan, dari keluarga itu, figur yang paling menonjol di dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan datang dari figur Ibu. “Jadi kaum ibu, yakni kaum perempuan, punya peran penting di sini,” ujar Evelyn Suleeman, M.A., peneliti dari Biro Litkom-PGI sekaligus dosen di Universitas Indonesia. “Gereja dapat mengambil peran besar melalui kaum perempuan.”
Itu sebabnya, peserta PRPrG merekomendasikan agar persekutuan kasih dalam keluarga, yang merupakan “bentuk mini gereja”, menjadi fokus perhatian gereja-gereja di masa mendatang. Di dalam keluarga itulah disemaikan benih-benih toleransi dan pluralisme. Gereja dapat membina keluarga, terutama kaum ibu, agar mereka dapat memainkan peran tersebut.
Susu Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah studi baru, para peneliti menemukan bahwa konsumsi susu yang tidak...