Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 21:09 WIB | Jumat, 14 Maret 2014

Qanun RTRW Aceh Tidak Sah dan Harus Direvisi

Dari kiri ke kanan, Ketua Walhi Aceh Muhammad Nur, Ahli hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Kurniawan, dan Ketua Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Farwiza. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ahli hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Kurniawan menyebut Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2014-2034 tidak sah secara hukum. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (13/3). 

"Ada banyak masalah hukum yang masih belum terjawab dalam pengesahan Qanun RTRW Aceh ini,” kata Kurniawan.

Kurniawan menambahkan konten Qanun RTRWA yang diusulkan ini gagal mengenali peraturan yang lebih tinggi. Khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Tata Ruang Nasional, yang keduanya memandatkan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). 

“Rencana tata ruang saat ini secara teknis tidak valid dan harus direvisi agar memiliki kredibilitas," simpul Kurniawan.

Qanun RTRW Aceh ini juga dievaluasi Kementerian Dalam Negeri. Tetapi Wakil Ketua DPRD Aceh Muhammad Tanwir Mahdi mengumumkan DPRD Aceh menolak evaluasi resmi Kementerian Dalam Negeri terkait Qanun itu.

Sementara Ketua Walhi Aceh Muhammad Nur di tempat yang sama menyampaikan setuju evaluasi dari Kemendagri. 

”Kami menyambut baik evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, dan juga kecewa pada DPRD Aceh yang telah menolak kesempatan ini untuk memperbaiki konten Qanun ini,” kata Muhammad Nur. 

Nur menceritakan masyarakat Aceh memikul masalah lingkungan dan sosial besar karena pembukaan lahan ilegal untuk pembalakan kayu dan kelapa sawit yang telah mendesak hutan lindung. DPRD Aceh seharusnya lebih peka lagi terhadap lingkungan Aceh. Membuka hutan lindung yang menyebabkan banjir dan tanah longsor hanya akan memperburuk perencanaan tata guna lahan. 

“Kita perlu rencana tata ruang yang sesuai dengan ketentuan hukum yang mencakup fungsi perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser. DPRD Aceh telah gagal untuk melakukan hal ini, dan karenanya, Walhi Aceh akan mendorong judicial review RTRW Aceh ini,” tandasnya.

"Aceh sangat beruntung karena memiliki dukungan dari dunia internasional selama bertahun-tahun,” kata Farwiza, Ketua Hutan Alam dan Lingkungan Aceh. "Dari 1992-2004, Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Uni Eropa untuk pengembangan lingkungan dan sosial. Kami tidak bisa melupakan kedermawanan mereka saat kita menderita kerugian besar karena tsunami pada 2004. Untuk ini, sebagai seorang wanita Aceh, saya akan selamanya berterima kasih kepada masyarakat internasional,” lanjutnya. 

Farwiza dari Forest Nature and Environment Aceh dalam kesempatan tersebut menuturkan bahwa berkat fasilitasi internasional, 30 tahun konflik sipil yang pahit di Aceh telah berakhir dengan MoU Helsinki. Aceh juga membuat kemajuan yang besar untuk membangun kembali daerahnya berkat komitmen yang kuat untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat dan masyarakat internasional. Namun sekarang, banyak pihak di Aceh merasa seolah-olah telah dilupakan.

“Semua kemajuan yang kita buat bersama akan terancam jika kita tidak segera bekerja sama untuk menemukan solusi terhadap meningkatnya konflik sosial dan lingkungan yang kini terjadi,” tutup Farwiza.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home