Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 11:12 WIB | Selasa, 19 Mei 2015

Rapat Dewan Gubernur BI Hari Ini Diperkirakan Alot

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) bersama Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo (kedua dari kiri) serta Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad dan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro (Foto: Media Indonesia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rapat bulanan Dewan Gubernur Bank Indonesia hari ini diperkirakan akan berlangsung alot, khususnya dalam memutuskan suku bunga acuan BI atau lebih populer disebut dengan BI Rate.

Di satu sisi, ada tekanan dari pemerintah --seperti yang disuarakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla -- agar BI melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan BI Rate yang saat ini 7,5 persen. Pelonggaran itu diharapkan dapat membantu memicu pergerakan sektor riil, yang saat ini cenderung melambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen pada kuartal pertama tahun 2015.

Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, sebelum ini menegaskan BI masih akan mempertahankan kebijakan moneter ketat  sebagai upaya untuk menahan impor yang masih deras. Impor yang masih besar tersebut, perlu ditekan demi memperkecil defisit transaksi berjalan. Lagipula, penurunan suku bunga dikhawatirkan dapat menekan nilai tukar rupiah lebih jauh, yang untuk tahun ini saja sudah terdepresiasi sampai 6 persen.

Baca juga:

Sebagian besar ekonom memperkirakan BI yang akan mengumumkan hasil rapatnya siang hari ini, akan mempertahankan BI Rate di level 7,5 persen. Sebagian besar dari 18 analis yang disurvei oleh Bloomberg News, memprediksi BI akan melanjutkan BI Rate di 7,5 persen dan hanya tiga yang memprediksi BI Rate akan diturunkan menjadi 7,25 persen.

Walaupun mayoritas memperkirakan BI Rate akan dipertahankan di 7,5 persen, penurunan BI Rate ke level 7,25 persen bukan tidak mungkin. Menurut Philip McNicholas, ekonom pada BNP Paribas Singapura, defisit transaksi berjalan sudah relatif berkurang beberapa waktu belakangan yang memberikan ruang bagi BI untuk memperlonggar kebijakan moneter. Defisit transaksi berjalan telah menyusut selama tiga kuartal berturut-turut ke level yang terkecil dalam tiga tahun terakhir. Perbaikan ini dapat memberikan kenyamanan bagi bank sentral untuk menurunkan BI Rate.


Bulan lalu, BI dalam pernyataan seusai rapat bulanan Dewan Gubernur BI, menyatakan bahwa defisit transaksi berjalan triwulan I 2015 telah menurun, terutama didorong oleh menurunnya defisit neraca migas. Defisit transaksi berjalan turun dari US$ 5,7 miliar (2,6% PDB) pada triwulan IV 2014 menjadi US$ 3,8 miliar (1,8% PDB) di triwulan I 2015. Defisit tersebut juga lebih rendah dari defisit pada triwulan yang sama pada 2014 sebesar US$ 4,1 miliar (1,9% PDB). Disebutkan bahwa peningkatan kinerja transaksi berjalan terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas seiring dengan menyusutnya impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai dampak positif dari reformasi subsidi yang ditempuh Pemerintah.

Standard Chartered Plc juga memprediksi kemungkinan penurunan suku bunga, karena "berkurangnya tekanan inflasi yang signifikan serta semakin sempitnya defisit transaksi berjalan."

Namun, bila BI memutuskan untuk menurunkan BI Rate, tekanan terhadap rupiah diperkirakan semakin kuat. Rupiah dewasa ini sudah terdepresiasi 6 persen dalam lima bulan pertama tahun 2015 dan merupakan mata uang terburuk di antara 11 mata uang Asia yang paling banyak diperdagangkan. JP Morgan Chase & Co mengatakan dalam sebuah catatannya pada 18 Mei, bahwa saatnya sekarang untuk melepas rupiah, karena  kebijakan BI yang telah berubah menjadi  kurang mendukung mata uang dan lebih  "bias pro-pertumbuhan" dan penurunan suku bunga.

"Volatilitas di pasar keuangan menunjukkan sekarang bukan waktu terbaik untuk menurunkan suku bunga," kata analis di Australia & New Zealand Banking Group Ltd, Devika Mehndiratta, yang menulis dalam sebuah catatannya kemarin (18/5). "Jika BI ingin memberikan  kejutan lain  pekan ini, berlawanan dengan komentar mereka kepada media, maka rupiah dan obligasi pemerintah akan mengalami tekanan karena kredibilitas mereka bisa dikompromikan."

Samuel Sekuritas, dalam analisis hariannya, hari ini (19/5) memperkirakan BI akan mempertahankan BI Rate di 7,5 persen. Namun, mereka juga menyatakan kemungkinan untuk menurunkannya tidak tertutup, dan bila itu dilakukan, "dapat menambah tekanan terhadap rupiah di tengah penguatan dolar di pasar global."

Kemarin, rupiah kembali tertekan bersamaan dengan mata uang lain di Asia. Kembalinya penguatan dollar index menekan mata uang di dunia serta berbagai aset keuangan lainnya. Hari ini, kembalinya masalah di Yunani berpeluang kembali menekan rupiah bersama dengan respon terhadap pengumuman BI rate.

Alternatif lain adalah kemungkinan ditempuhnya keputusan kompromi. BI akan mempertahankan BI Rate tetapi akan menurunkan tingkat suku bunga lainnya.  Selain suku bunga BI Rate, BI memiliki  instrumen lain untuk mengakomodasi keinginan pemerintah membantu pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah Fasilitas Simpanan BI atau Fasbi. Ini adalah fasilitas yang diberikan kepada bank untuk menempatkan dana mereka di BI dalam rupiah.Suku bunga Fasbi dewasa ini juga termasuk yang dengan cermat diamati oleh para pelaku pasar.

Euben Paracuelles, ekonom di Nomura Holdings Inc di Singapura salah satu yang menyarankan langkah ini. "Mereka (BI) khawatir tentang perlambatan pertumbuhan, tetapi juga mereka tidak bisa menurunkan suku bunga karena inflasi dan defisit transaksi berjalan," katanya, sebagaimana dikutip oleh Bloomberg..

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home