Loading...
OPINI
Penulis: Singgih Nugroho 07:42 WIB | Kamis, 03 Oktober 2013

Rekonsiliasi Pasca Pembunuhan Massal 1965-1966

SATUHARAPAN.COM - Gagasan rekonsiliasi kembali serius didiskusikan beberapa pihak ketika membahas upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di tahun 1965-1966. Setidaknya ini menjadi bagian rekomendasi para pakar, aktivis dan korban Tragedi 1965 dalam acara teleconference di empat kota (4 negara) bertajuk ‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965 akhir Agustus lalu.

Amin Mudzakir, di artikelnya di Harian Nasional (4/9) menulis, gagasan ini merupakan pilihan terbaik di tengah suasana yang bergelayut antara harapan dan ketidakpastian upaya di tingkat nasional. Rekonsiliasi sosial dan kultural merupakan prasyarat rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara, sehingga mempunyai legitimasi kuat di tengah masyarakat.

Salah satu organisasi masyarakat sipil berbasis NU yang banyak disebut sebagai penggerak rekonsiliasi sosial-kultural diantara “pelaku” dan “korban” tragedi 1965 ialah Syarikat. Studi Budiawan (2004) mencatat aktivitas anak muda NU itu telah berhasil membuka ruang rekonsiliasi, mendorong tercerabutnya dukungan masyarakat atas pengawetan wacana anti-komunis, tapi jalan menuju rekonsiliasi nasional masih panjang.

Agenda seterusnya ialah memperluas ruang rekonsiliasi dengan pelibatan seluruh elemen bangsa termasuk eks tapol yang dituduh terlibat atau dikaitkan dengan Peristiwa 1965. Para eks tapol ini didorong untuk bisa membuat pengakuan tentang apa yang telah dilakukannya terhadap lawan-lawan politik periode pra-peristiwa 1965. Sementara itu Komunitas Muslim (NU) dan non-NU juga harus bersedia meninggalkan periode pra-peristiwa 1965 ketika sebagian mereka telah ikut ambil bagian atau turut terbawa dalam pembantaian terhadap kaum komunis atau yang disangka komunis.

Langkah berikutnya membawa kedua bekas lawan politik itu untuk maju melintas tahun-tahun setelah pembantaian 1965-1966, masa dimana semua kelompok sosial termasuk umat Muslim ditindas oleh rezim militer Soeharto. Jika kedua kelompok itu telah memiliki pengertian sama, sebagai korban Orde Baru, maka diteruskan dengan merekonsiliasi diantara masyarakat dengan negara, terutama dengan militer yang berkepentingan menciptakan dan mereproduksi citra bahaya komunis.

Singkatnya, gerakan rekonsialisi lebih strategis jika diinisiasi oleh masyarakat sipil, terutama komunitas keagamaan, daripada negara untuk menghindarkan dari kemungkinan tergelincir pada politisasi isu rekonsiliasi.           

 

Pengungkapan kebenaran

Senyampang dengan gerakan rekonsiliasi kultural ini, upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan tetap harus dirawat. Mengabaikannya, hanya akan menciptakan rekonsiliasi semu. Majalah Tempo (Edisi 1-7 Oktober 2012) dalam bagian pengantarnya menulis,  rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari ingkar; ia harus diawali oleh pengakuan.

Itulah yang seharusnya dilakukan para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu. Dalam frasa truth and reconciliation, terma "kebenaran" diletakkan mendahului "rekonsiliasi" untuk menunjukkan yang satu merupakan syarat mutlak bagi yang lain.

Disadari upaya pengungkapan kebenaran bukan proses mudah, sebab hingga berselang 48 tahun, wacana anti-komunis masih kuat. Pada saat Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maafnya kepada Indonesia terkait serangkaian "pembantaian" militer Belanda pada 1945-49 (khususnya tragedi Rawagede dan Westerling), muncul harapan kuat agar muncul sikap serupa dari pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya korban Peristiwa 1965.

Pada tahun 2012, Komnas HAM melaporkan peristiwa itu memiliki cukup bukti permulaan telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan kategori pelanggaran HAM berat. Rekomendasinya Kejagung diminta menindaklanjuti temuan ini dengan mekanisme penyidikan (yudisial) dan non-yudisial. Hingga medio 2013, upaya penyelesaian melalui jalur hukum dan politik tingkat nasional macet. Kejagung mengembalikan berkas ke Komnas HAM dengan alasan belum cukup bukti.

Dari sisi politik, rencana Presiden SBY untuk menyampaikan permintaan maaf kepada korban, hingga kini juga belum terealisasi. Setali dengan Presiden, DPR lewat Komisi II menolak upaya Kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), berdasarkan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, membuka arsip dokumen peristiwa 1965 dengan alasan akan menimbulkan kegaduhan politik. (SM, 2/2-2013)

 

Penyadaran Publik

Tinjauan perkembangan penyelesaian masalah ini tingkat nasional belum memberi gambaran positif. Rekonsiliasi nasional masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Meski begitu, kita perlu mencatat kisah-kisah baik yang sudah mulai muncul di tingkat lokal.

Dari kalangan masyarakat sipil, di samping Syarikat dan jaringannya, sudah mulai banyak pihak memberi perhatian terhadap masalah ini, seperti akademisi, komunitas keagamaan, pegiat HAM, media massa dan film maker. Dua kelompok terakhir ini berperan signifikan dalam memberi penyadaran kepada masyarakat luas. Pada tahun 2012, selain laporan Komnas HAM, masyarakat juga memperoleh pendidikan antara lain dari lewat film “The Act of Killing”, dan liputan Majalah Tempo terkait isu Kekerasan Peristiwa 1965 (“Pengakuan Algojo 1965” serta “Lekra dan Geger 1965”) 

Sementara dari kalangan pemerintahan, selepas Presiden Abdurahman Wahid yang meminta maaf secara pribadi, kita perlu apresiasi kepada pemerintah lokal, seperti Wali Kota Palu, Rusdi Mastura yang secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada bekas anggota PKI berikut kompensasinya. Pemerintah Kota Solo, akhir tahun 2012, juga pernah menfasilitasi kegiatan “Dengar Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu’ di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Surakarta.

Semuanya (dan kisah lain yang belum tercatat) merupakan modal-modal sosial penting untuk merawat asa dalam mendorong rekonsiliasi di tingkat nasional. Agenda menulis ulang perjalanan sejarah bangsa ini  di tingkat lokal, juga bisa menjadi bagian dari perawat asa ini. Dengan cara ini, Peristiwa 30 September 1965 yang sampai sekarang masih mewariskan kekaburan sejarah atau (mungkin tepatnya pengkaburan) terutama berkaitan dengan siapa pelaku utama dan pelupaan dampak-dampak ikutan peristiwa tersebut, diharapkan akan segera menemui jalan lapang.

 

Penulis adalah peneliti di PERCIK, Salatiga, menulis buku "Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca-1965 di Pedesaan Jawa"


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home