Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 09:07 WIB | Senin, 30 September 2013

1965

SATUHARAPAN.COM - Agaknya benar. Peristiwa pembantaian massal tahun 1965 akan tetap menjadi lobang hitam (black hole) sejarah yang terus menganga. Seperti black hole di alam semesta ini, yang konon memiliki daya gravitasi begitu kuat sehingga cahaya pun tak mampu keluar dari perangkapnya, peristiwa 1965 pun akan tetap menjadi hantu dan terus memenjarakan kita.

Tahun lalu, Joshua Oppenheimer mengejutkan banyak orang lewat film dokumenter sekaligus anti-dokumenter besutannya yang berjudul The Act of Killing. Digarap dengan teknik narasi berlapis yang canggih, sampai sutradara kenamaan Jerman, Werner Herzog, memujinya setinggi langit sebagai "unprecedented in the history of cinema", menonton film itu seperti menjalani proses terapeutis yang menyesakkan. Di situ, orang diajak berkonfrontasi dengan masa lampaunya yang pahit, sebelum akhinya sadar bahwa si monster, tukang jagal itu, adalah dirinya sendiri!

Lupakan data historis yang disajikan. Oppenheimer, walau menyebut karyanya sebagai dokumenter, sedang tidak berambisi menyajikan rekonstruksi historis penjagalan 1965. Untuk soal itu, sudah begitu banyak buku dan kajian diterbitkan. Namun perihal apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu -- wie es eigentlich gewesen, untuk mengutip diktum sejarawan Leopold von Ranke -- tetap menjadi misteri. Tak ada data yang tersimpan, seperti misalnya arsip rapi mengenai deportasi orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi pada zaman Nazi, atau catatan polisi rahasia yang begitu rinci di stasi-stasi milik (eks) Jerman Timur waktu Perang Dingin.

Mungkin karena itulah Oppenheimer mendekati film "dokumenter" yang dibuatnya bak "fiksi". Kepada Katie Kitamura dari Aljazeera yang mewawancarainya, Oppenheimer mengaku film dokumenternya sebagai "cara kita menciptakan dunia lewat tuturan cerita". Dan fungsi fiksi persis di situ. "Fiksi membuat kita mampu mengelak dari kebenaran, namun sekaligus mendekatinya," kata Oppenheimer. "Atau, lebih tepat, fiksi membuat kita mampu 'mengkonstruksikan' dunia kita."

Dan The Act of Killing memang dibuat bak rangkaian cerita yang saling tumpang tindih seperti labirin sehingga acap kali mengecoh kita. Di dalamnya kita bertemu Anwar Congo and his gang, para preman bioskop di Medan yang “naik pangkat” menjadi tukang jagal saat peristiwa 1965 mencapai kota itu. 

Caranya bercerita sendiri sudah membuat Oppenheimer bergidik. Dengan gaya santai, kerap diimbuhi canda dan cekikikan teman-temannya, Anwar mengisahkan bagaimana ia membunuh satu demi satu orang yang dituduh “komunis”, bahkan memeragakan tekniknya. “Pertama kali saya bertemu Anwar, ia menari cha cha cha di atas lokasi di mana ia dahulu membunuh ratusan orang,” tutur Oppenheimer dalam wawancara itu.

Tetapi Oppenheimer merasa ada yang berubah setiap kali proses peragaaan itu dilakukan Anwar. Di balik gayanya yang bombastis melebihi rekan-rekan penjagal lainnya, dan caranya bercerita yang begitu ringan, seakan-akan tanpa beban sama sekali, Oppenheimer melihat rasa sakit yang terpendam sekian lama. Seluruh cerita dan peragaan yang dilakukan Anwar and his gang lalu bagaikan usaha untuk membungkam jeritan nuraninya, bahwa apa yang dahulu ia lakukan salah. Namun alih-alih mengakui kesalahannya, Anwar justru mati-matian -- lewat tuturan dan peragaaan -- berusaha membenarkan tindakannya. Tanpa sadar, ia sedang dihantui oleh trauma-trauma masa lampaunya sendiri!

Kompleksitas itulah yang membuat The Act of Killing sungguh memukau, sekaligus menggetarkan siapapun yang menontonnya. Dengan caranya sendiri, Oppenheimer bertindak bak psikoanalis bagi para penjagal: satu demi satu adegan yang diperankan ulang oleh mereka menjadi proses terapeutis yang menyakitkan, saat mereka harus berkonfrontasi dengan trauma-trauma masa lalu dan jeritan nuraninya. Dan kita, para penonton proses terapeutis itu, juga diajak -- bila bersedia -- melakukan proses yang sama.

Sebab trauma yang menghantui Anwar Congo and his gang sebenarnya sama seperti trauma yang menghantui perjalanan bangsa ini. Selama lebih dari 45 tahun, peristiwa penjagalan itu dibiarkan tak tersentuh, dan bahkan dijustifikasi dengan segala cara, mulai dari agama ("komunis itu anti-Tuhan") sampai mitos ("awas bahaya laten komunis"), untuk membenarkan tindakan itu. Bahkan para pelakunya dibiarkan berkeliaran dan tidak dapat diadili.

Kebisuan itu, yang masih bisa dirasakan setiap kali akhir September tiba, atau saat kata "komunis" diucapkan, yang mau dibongkar Oppenheimer. Ia seperti memberi kita cermin untuk melihat diri sendiri dan menemukan bahwa para penjagal itu ada di dalam hati kita masing-masing. Langkah selanjutnya tergantung pilihan kita: apakah akan, seperti Anwar Congo and his gang tetap mati-matian berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukan dulu itu benar, bahkan menari cha-cha-cha di atas korban, dan melanjutkan warisan kebohongan pada generasi mendatang? Atau dengan tulus mengakui kesalahan, lalu membuka lembaran baru -- seperti dulu pernah diusahakan, walau kandas di tengah jalan, oleh alm. Gus Dur?

Sesungguhnya, peristwa 1965 masih terus menghantui kita. Pun sampai sekarang.

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home