Loading...
OPINI
Penulis: Weilin Han 21:14 WIB | Minggu, 06 Oktober 2013

Ujian Nasional: Antara Nero dan Pinokio

Power tends to corrupt; absolute power tends to corrupt absolutely.

SATUHARAPAN.COM - Pepatah klasik Lord Acton itu jadi sangat terasa ketika mendengarkan paparan para narasumber di Konvensi Rakyat Evaluasi Satu Dasa Warsa Ujian Nasional, September lalu. Mereka mempaparkan data-data anyar yang absah dan lengkap. Kajian ilmiah yang mereka sampaikan penuh dengan logika dan sangat bernalar. Tidak habis pikir mengapa pemerintah begitu menentang apa yang mereka sampaikan.

Dari segi kompetensi, para narasumber Konvensi Rakyat itu memilik track record yang mumpuni di bidang pendidikan. Bandingkan, dengan Konvensi yang dibiayai APBN, yang malah menjadikan seorang pedagang sebagai pemapar utama!

Apalagi, rakyat belum pernah mendengar atau membaca  kajian ilmiah Kemendikbud mengenai evaluasi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dan mengapa UN tetap dipertahankan selama satu dasawarsa. Faktanya, UN memang tidak berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan di Indonesia di mata dunia. Jadi ketika Kemendikbud bersikeras, bukankah Kaisar Neropun melakukan pola yang sama? Dengan kekuasaan absolutnya, dia membakar Roma hanya untuk sebuah lukisan.

Negara Hukum yang dikelola Pelanggar Hukum

Kata “ilegal” biasanya kita temui ketika menyebutkan, misalnya obat ilegal, tenaga kerja ilegal, penebangan kayu ilegal, penambangan ilegal, laporan keuangan ilegal, yang semuanya mengartikan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Ketika ada tindakan ilegal, maka ada tindakan legal terhadap pelanggaran ini.

Konvensi Rakyat dianggap pemerintah sebagai gerakan yang ilegal. Seorang mantan pejabat bahkan menyebutnya sebagai aksi separatis. Tetapi, siapakah sebetulnya pelaku tindakan ilegal?

Berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat pada tahun 2007, pemerintah, dalam hal ini, Kemendikbud, sudah tidak boleh lagi menyelenggarakan UN.  Disebutkan dalam amar keputusan itu bahwa pemerintah telah lalai memperhatikan hak didik anak. Jadi, selama ini pemerintahlah yang telah menjadi pelanggar hukum Pemerintah telah melaksanakan UN secara ilegal!

Konvensi Rakyat kembali memaparkan mengenai fakta pelanggaran ini. Dedi Gumilar dari Komisi X, PDI-P, yang juga datang di Konvensi itu sampai mengatakan, tidak perlu lagi ada tambahan kajian akademis! Sudah lebih dari cukup! Yang penting, pemerintah harus taat hukum.

UUD Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berarti, ketika Kemendikbud bersikeras melaksanakan UN, Kemendikbud sedang melanggar hukum, sekaligus UUD itu sendiri. Sebuah pengelolaan negara hukum tetapi cacat hukum. Bukankah itu ironis sekali?


Landasan yang Rapuh

Ada beberapa hal penting dan baik yang tercantum dalam Standar Penilaian Siswa yang dibuat oleh Kemendikbud dan digunakan sebagai salah satu dari delapan standar yang ditetapkan. Standar penilaian siswa dilakukan secara beragam, menekankan pada proses belajar, dan menempatkan siswa pada pusat pembelajar yang unik itu sendiri. Dengan demikian, evaluasi yang berkesinambungan dan berkelanjutan akan digunakan sebagai tolok ukur kemajuan siswa. Pada hakikatnya sendiri, Ujian Nasional sama sekali berbeda dengan evaluasi, bahkan bertolak belakang dengan filosofi evaluasi yang berkesinambungan.

Standar penilaian proses akan menempatkan sebuah UN hanya sebagai salah satu bentuk kecil dari evaluasi. Apalagi, karena UN hanya mengambil beberapa mata pelajaran saja, UN sama sekali tidak boleh digunakan sebagai penentu kelulusan. Ketika UN digunakan, ada dua fakta yang kita dapatkan. Pertama, pihak Kemendikbud sedang berilusi dengan memberikan peraturan-peraturan dan bahan-bahan pendidikan yang bagus tetapi mereka sendirilah yang melanggarnya. Dan, kedua, mereka sedang membangun landasan masa depan anak bangsa yang sangat rapuh. Anak hanya dilihat sebagai hasil cetakan pabrik.

 

Menantikan Negeri Jujur

Setiap tahun kita juga disuguhi dengan begitu banyak kebocoran UN dan pengkoreksian jawaban anak yang  dilakukan orang-orang dewasa secara berjamaah. Rupanya, kedudukan seseorang yang ditentukan oleh kualitas pendidikan di daerahnya membuat para pemangku kekuasaan merestui bahkan menginstruksikan kebohongan massal.

Sayangnya, kemaksiatan kasat mata ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan  benar. Ibunda Abrar, yang datang ke Konvensi Rakyat, mengingatkan kita bahwa kejujuran Abrar bernilai sangat mahal sementara pemerintahpun, seperti biasa, hanya punya daya ingat pendek. 

Beberapa waktu yang lalu ada iklan layanan sosial di televisi yang mendorong kita membeli dan menjual barang dengan timbangan yang dapat dipercaya. Kalau 250 gram, ya berarti 250 gram, tidak dikurangi, atau ditambah-tambah dengan produk lain yang tidak sepadan, sehingga menjadi 250 gram. Mudah. Sederhana. 250 gram gula di Ambon, ya sama dengan 250 gram gula di Mojokerto, atau di Pontianak.

Tapi anehnya dalam satu dasawarsa, nilai UN menjadi sangat bombastis padahal kondisi kualitas pendidikan dari satu daerah ke daerah lainnya masih banyak yang jauh api dari panggang. Bukan hal yang aneh ketika kita mendapati anak SMP tidak mengerti pecahan atau desimal, atau misalnya anak SMA, yang jarang melek makna ketika membaca sebuah teks bahasa Indonesia.

Pinokio merupakan cerita klasik anak yang mengajarkan kejujuran dengan indikator yang langsung diketahui dan dilihat baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Bila Pinokio berbohong, hidungnya akan memanjang. Seandainya saja kisah Pinokio itu nyata dalam pelaksanaan UN selama ini......

Penulis adalah praktisi dan pengamat pendidikan, tinggal di Jakarta.
 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home