Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta 16:49 WIB | Selasa, 23 April 2013

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Untungkan Pertambangan Tak Berijin

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Untungkan Pertambangan Tak Berijin
Peta hutan wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sebagian besar sudah menjadi daerah pertambangan, ditandai dengan warna merah (foto-foto: Prasasta)
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Untungkan Pertambangan Tak Berijin
Mantan Anggota Komisi IV DPR-RI Tengku Imam Syuja
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Untungkan Pertambangan Tak Berijin
Elfian Effendi (Greenomics)
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Untungkan Pertambangan Tak Berijin
Donald Faridz (ICW)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini hendak disahkan menjadi peraturan baru. Dari momentum ini, diperkirakan akan terjadi banyak dampak negatif, salah satunya adalah  menguntungkan pengusaha-pengusaha pertambangan dan perkebunan illegal.

Hal tersebut ditegaskan oleh Tengku Imam Syuja, mantan anggota Komisi IV DPR-RI periode 2004-2009 dalam Diskusi Publik “Selamatkan Hutan Aceh”  yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta (22/4),

“RTRW Aceh diperkirakan banyak hasil jeleknya, dari RTRW yang ada hanya sekitar 1 persen bermanfaat untuk masyarakat”

Dalam kesempatan yang sama, hadir sebagai narasumber antara lain Donald Faridz dari Indonesian Corruption Watch/ ICW), Faisal yang merupakan perwakilan warga Aceh Tamiang dan Elman Effendi dari Lembaga Perlindungan Hutan Greenomics Indonesia. 

Syuja dalam kesempatan yang sama mengungkapkan dalam makalahnya berjudul “Menjaga Hutan Membangun Peradaban” bahwa kebijakan pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan perkebunan sawit dan tambang merupakan program strategis, tetapi kebijakan tersebut memiliki dampak dan resiko bencana yang sangat besar. Perkebunan dan tambang akan memberi dampak pada kerusakan lingkungan yang luar biasa jika eksploitasinya dilakukan pada saat budaya korupsi masih melekat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.  

Ia mengatakan, pemerintah NAD sesungguhnya dapat memfasilitasi pengetahuan kepada masyarakat, tetapi pada kenyatanya mereka yang tidak mendapat lapangan pekerjaan malah dipekerjakan pada sektor pertambangan dan perkebunan sawit illegal.

Sesungguhnya dalam waktu lima tahun (2012-2017) pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat pedesaan yang tertinggal, akan tetapi saat ini pemerintah Aceh dalam lima tahun belum memperkuat kapasitas masyarakat sehingga budaya melestarikan hutan belum tumbuh dengan kuat, termasuk tumbuhnya kesadaran visi-misi yang jelas dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan bagi kepentingan ekonomi secara berkelanjutan.

Imam menambahkan bahwa pengelolaan Hak Guna Usaha suatu lahan hutan yang telah diberikan kepada perusahaan swasta pertambangan tertentu yang memiliki teknik kotor. “Ada perusahaan yang niat awalnya untuk mendirikan pertambagan dengan konsep hijau, karena sepintas kalau dilihat memang banyak pepohonan, tetapi itu hanya di pinggir-pinggir saja, dan pada areal pertambangannya tetap kosong.”  

Pada kesempatan yang sama, Donald Fariz mengatakan bahwa indikator korupsi pada birokrasi dimungkinkan dengan adanya regulasi yang abu-abu, adanya celah dalam pasal-pasal perundang-undangan yang tumpang tindih, dukungan dari aparat penegak hukum.

“Saya waktu itu pernah nonton di sebuah stasiun televisi swasta, ada oknum jenderal berbintang di Mabes Polri yang menerima gratifikasi lebih dari 6000 hektar sebagai bagian dari pengolahan sawit. Dengan santainya jenderal itu bilang kalau ini hadiah dari pengusaha itu,” katanya.

Editor : Wiwin Wirwidya Hendra


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home